Start here

“Teknik Menanamkan” Ideologi Melalui Agenda Setting, Framing dan Priming di Media Massa

fadjroel-avaDominic Strinati dalam An Introduction to Theories of Popular Culture[1] menjelaskan bahwa mass society atau masyarakat massa dibentuk oleh mass culture (kebudayaan massa) dan secara luas disebarkan oleh media massa, khusunya di dalam masyarakat kapitalis moderen. Kata Strinati, The concept of mass society has formed one important perspective on the role of mass media and mass culture in modern capitalist societies. Media massa berarti segala bentuk komunikasi yang mampu menyebarluaskan pesan dan menciptakan makna secara luas dan terus menerus yang dapat mempengaruhi khalayak. Dalam konteks mutakhir berarti disebarkan melalui media massa konvensional (surat kabar, majalah, televisi, radio, film) dan media baru (segala bentuk media terkait infrastruuktur internet seperti Blog, You Tube, Facebook, Twitter, dll). Tetapi dalam kasus negara fasis (Jerman dan Italia) media massa televisi dan film dipakai untuk mentransmisikan ideologi resmi negara fasis karena dapat dikendalikan dari pusat dan mencapai publik secara luas, untuk memantapkan ideologi Nazi (dan Fasis) di semua bidang kebudayaan dan kesenian serta menghapuskan ideologi politik maupun estetik alternatif.

Sedangkan dalam masyarakat kapitalis modern, popular culture atau kebudayaan populer (kebudayaan pop) adalah aktivitas kebudayaan atau produk komersial (barang dagangan) yang ditujukan kepada khalayak luas untuk dikonsumsi. Beberapa bentuk budaya populer: musik, televisi, olahraga, mainan anak dan dewasa, komik, film, iklan, fashion, majalah, cyberculture, dll. Umumnya produk budaya populer ini dapat direproduksi tanpa batas dengan teknik industri produksi massal dan menjangkau khalayak yang banyak, yang akhirnya membentuk masyarakat massa. Budaya popular yang dihasilkan secara massal dengan teknik produksi massal tak dapat menampung kompleksitas estetis seni sejati, kreativitasnya, eksperimennya, tantang intelektualnya. Budaya massa ini adalah suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual lebih cenderung pada pengembaraan fantasi tanpa beban dan eskapisme, mengagungkan konsumerisme, untuk laba dan pasar, serta membungkam suatra yang bertentangan karena ia merupakan sebuah kebudayaan yang melemahkan semangat dan membuat pasif. Menurut MacDonald budaya masssa menjadi sebuah ancaman karena sifat homogennya, dan kapasitasnya dalam menurunkan atau merendahkan segala kebudayaan.[2] Dalam kerangka berpikir Sekolah Frankfurt, pandangan Mazhab Frankfurt terhadap budaya populer berdasarkan pada teorinya tentang kapitalisme moderen dan konsepsinya tentang kontrol industri budaya yang dapat mengarahkan pikiran dan tindakan manusia. Frankfurt School berutang teori pada Marx. Theodor Adorno, salah satu pemikir tentang kebudayaan popuper atau industri budaya di Sekolah Frankfurt menulis, “Rahasia sejati keberhasilan… semata-mata merupakan refleksi atas apa yang dibayar seseorang di pasar atas produk. Konsumen benar-benar memuja uang yang dia bayarkan untuk tiket konser Toscanini.” (Adorno, 1991: hlm. 34). Teori budaya populer modern  Adorno didasarkan pada teori Marx tentang fetisisme komoditas. Bentuk budaya modern seperti musik pop bisa berfungsi mengamankan dominasi modal ekonomi, politis maupun ideologis yang berkelanjutan. Gagasan Adorno tentang uang – harga komoditas atau barang, termasuk tiket untuk sebuah konser –  menjelaskan dominasi hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis, terkait dengan teori Marx tentang fetisisme komoditas.

Teori Marx tentang fetisisme komoditas memberi ekonomi suatu realitas objektif independen yang berada di luar aktor dan paksaan terhadapnya. Dari sudut ini, fetisisme komoditas diterjemahkan menjadi konsep reifikasi (Lukacs, 1922/1968; Sherlock, 1997). Reifikasi bemakna sebagai “penyesuatuan” (thingification) atau pembendaan, atau proses mempercayai bahwa secara manusiawi bentuk-bentuk sosial yang terbentuk merupakan sesuatu yang alami, universal dan absolut. Konsep reifikasi mengimplikasikan bahwa orang percaya kalau struktur sosial berada di luar kontrol dan tak bisa diubah. Dengan konsep ini, kita melihat orang mereifikasi seluruh relasi sosial dan struktur sosial. Ketika orang mereifikasi komoditas dan fenomena ekonomi lainnya (mis: pembagian kerja) mereka juga mereifikasi struktur religius, politik, organisasi, kata Marx, “dari kontradiksi antara individu dan…komunitas ini, komunitas kemudian mengambil wujud independen sebagai Negara, diceraikan dari kepentingan riil individu dan komunitas. Kapitalisme terbentuk dari tipe relasi sosial partikular yang cenderung mengambil bentuk yang terlihat, dan pada akhirnya, independen dari orang-orang.

Kata Adorno, “inilah rahasia sejati keberhasilan”, karena ia dapt menunjukkan bagaimana, “asas pertukaran memaksakan kekuatannya secara khusus dalam dunia benda-benda budaya” (1991; hlm. 34). Karl Marx sudah membedakan antara nilai tukar (exchange value) dan nilai guna (use value) dalam masyarakat kapitalis. Terkait kapitalisme, nilai tukar mendominasi nilai guna karena ekonomi kapitalis berpusat pada produksi, pemasaran, dan konsumsi, komoditas (barang dagangan) akan selalu mendominasi kebutuhan riil manusia. Menurut Strinati, gagasan ini merupakan inti teori budaya kapitalis Adorno. Menghubungkan fetisime komoditas dengan dominasi nilai-tukar, uang (benda) menggantikan relasi sosial dalam masyarakat kapitalis. Karena itu kita memmuja harga yang kita bayarkan atas tiket konser daripada konser itu sendiri.

Theodore Adorno mengembangkan analisis Marx tentang fetisisme komoditas dan pertukaran dalam komoditas budaya. Terhadap musik misalnya, kata Adorno mengembang konsep fetisisme musikal, “segala kehidupan musik masa kini didominasi oleh bentuk komoditas, sisa zaman prakapitalsi terakhir sudah musnah (ibid, hlm 33). Berarti apa yang dikatakan Marx tentang komoditas secara umum berlaku juga pada komoditas budaya, “sepenuhnya masuk ke dalam dunia komoditas, yang dihasilkan dan ditujukan untuk pasar.” (ibid, hlm. 34). Pertukaran itu direalisasikan oleh media uang. Yang khas pada komoditas budaya adalah, “Nilai tukar mengambilalih nilai guna, dalam hal musik komoditas melahirkan hubungan langsung dengan apa yang kita beli – pengalaman musikal – nilai guna menjadi nilai nilai tukar sedemikina ruap sehingga nilai tukar bisa menyamarkan diri sebagai objek kenikmatan.” Kita dikatakan memuja harga yang kita bayarkan atas tiket konser dan bukannya memuja pertunjukkan itu sendiri, karena kita adalah para korban fetisime komoditas di mana relasi sosial dan apresiasi budaya diobjektifikasi melalui uang.”

Bagaimana melihat hubungan antara struktur dan agensi, faktor eksernal dan internal yang mendorong perubahan sosial, di mana individu tak hanya dilihat sebagai objek yang pasif dalam struktur, penulis mengutip penelitian dan teori strukturasi yang dikembangkan sosiolog Inggris Anthony Giddens.[3] Dalam pandangan Giddens, terdapat sifat dualitas pada struktur. Yakni, struktur sebagai medium, dan sekaligus sebagai hasil (outcome) dari tindakan-tindakan agen yang diorganisasikan secara berulang (recursively). Maka properti-properti struktural dari suatu sistem sosial sebenarnya tidak berada di luar tindakan, namun sangat terkait dalam produksi dan reproduksi tindakan-tindakan tersebut. Struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat, namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained) oleh masyarakat.

Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur kausalitas ini berlangsung ke dua arah timbal-balik, sehingga tidak memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang mengubah apa. Struktur dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen. Dalam teori strukturasi, si agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran:
1.  Kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif; 2. Kesadaran praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah, tidak ada tabir represi yang menutupi kesadaran praktis.; 3. Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang corak (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.

Pemahaman tentang kesadaran praktis ini sangat fundamental bagi teori strukturasi. Struktur dibentuk oleh kesadaran praktis, berupa tindakan berulang-ulang, yang tidak memerlukan proses refleksif (perenungan), dan tidak ada “pengambilan jarak” oleh si agen terhadap struktur. Ketika makin banyak agen mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian dalam melakukan sesuatu, mereka sebenarnya telah memperkuat tatanan struktur (order). Perubahan (change) struktur bisa terjadi jika semakin banyak aktor/agen yang mengadopsi kesadaran diskursif. Yaitu, manakala si agen “mengambil jarak” dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan dengan mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya bisa berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan, dan praktis telah mengubah struktur tersebut. Perubahan juga bisa terjadi karena konsekuensi dari tindakan, yang hasilnya sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya (unintended consequences). Unintended consequences mungkin secara sistematis menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui bagi munculnya tindakan-tindakan lain lebih jauh. Dalam kasus unintended consequences ini, bukan adanya atau tidak-adanya niat (intention) yang penting. Namun, adanya kompetensi atau kapabilitas di pihak si agen untuk melakukan perubahan. Jadi, hal ini sebenarnya berkaitan dengan kuasa atau power. Giddens menekankan pentingnya power, yang merupakan sarana mencapai tujuan, dan karenanya terlibat secara langsung dalam tindakan-tindakan setiap orang. Power adalah kapasitas transformatif seseorang untuk mengubah dunia sosial dan material.

Dengan pendekatan ini dapat dilihat masing-masing peran dari kondisi-kondisi level struktur ekonomi politik suatu tahapan historis tertentu dan tindakan-tindakan aktif dari agen-agen soasial seperti negara, pekerja media, pemilik modal, bahkan publik itu sendiri. Untuk menekankan kemampuan penjelasan dari pendekatan di atas sebagai contoh, perubahan ekonomi politik yang terjadi pada masa Orde Baru, membuat para pekerja pers, atau lebih luas lagi produk interaksi antara penguasa, pemilik modal, pekerja pers/media juga mengalami perubahan signifikan. Para pekerja pers misalnya memiliki kapasitas yang relatif lebih besar untuk melakukan tindakan signifikan sehingga teks isi media secara umum mengalami perunahan dramats. Perubahan muatan pemberitaan media ini tak pelak turut memberikan kontribusi pada eskalasi atau akumulasi tekanan terhadap stabilitas hegemoni penguasa dan kemapanan struktur politik otoritarian Orde Baru.[4]

Penjelasan lebih jauh tentang keterkaitan beragam faktor dalam panggung perubahan ekonomi politik Orde Baru dan media dituliskan oleh Dedy Nur Hidayat, bahwa kapasitas agen pelaku sosial untuk mengubah struktur ekonomi politik pers pada waktu itu diperoleh dalam kondisi di mana struktur politik otoritarian Orde Baru telah berubah cukup signifikan, akibat dari tindakan, gerakan, dan tekana para agen pelaku sosial di lapis struktur lain. Pada titik ini, kita tak dapat mengesampingkan peran gerakan politik kelompok oposisi yang telah dimulai jauh sebelum berlangsungnya krisis ekonomi 1997-1998, gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kepanikan pemegang saham dan spekulan valuta asing saat krisis ekonomi terjadi, tekanan lembaga keuangan  internasional serta gelombang penjarahan yang terjadi di berbagai wilayah tanah air pada Kerusuhan Mei 1998. Lebih jauh lagi, perubahan struktur ekonomi-politik pers Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang gagal ditanggulangi oleh rezim Orde Baru. Krisis dalam skala dan intensitas seperti itu merupakan suatu risiko struktural dalam kapitalisme global, yang pada titik historis spesifik masa itu telah mencapai tahap elaborasi struktural tertentu, khususnya dari segi mobilitas dana internasional.[5] Dalam konteks tertentu struktur mungkin lebih menentukan agensi, sementara dalam konteks historis yang lain justru agensi yang akan menetukan perubahan struktur. Sehingga perubahan sosial dalam pendekatan ekonomi-politik kritis pada dasarnya adalah arena pergulatan ideologis, di mana proses-proses hegemoni dan kontra hegemoni, legitimasi dan deligitimasi, dominasi dan kontra dominasi berlangsung secara bersamaan, yang terjadi dalam konteks historis tertentu dengan struktur dan agensi yang berbeda.

Ketika Strinati menegaskan bahwa kebudayaan massa atau kebudayaan populer disebarkan secara luas bahkan secara menglobal oleh media massa, sekarang melalui media massa tradisional dan media massa baru yang berbasis infrastruktur internet. Penulis tertarik melihat bagaimana sebenarnya cara kerja media massa memberikan dampak atau efek kepada khalayak massa. Bagiamana cara kerja media massa tersebut membangun pengertian mengenai sesuatu topik yang harus dipikirkan khalayak dan lambat-laun dalam kasus tertentu menjadi ideologi masyarakat massa tersebut. Atau bahasa lain, bagaimana media massa mempengaruhi khalayak atau massa dengan isi kebudayaan massa yang disebarkannya. Penulis mencoba mencari pengetahuan secara praktis melalui konsep dalam komunikasi massa yaitu teori agenda setting, framing dan priming yang dilakukan media massa. Penulis mencari kasus khusus yang sekarang menjadi perbincangan publik sekarang ini yaitu pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Setya Novanto Ketua DPR-RI. Penulis ingin mengetahui bagaimana media massa, untuk kasus ini penulis sengaja memilih tiga website online nasional  www.kompas.com, www.metrotv.com, www.vivanews.com, dan satu web khusus pengukur keterlibatan publik dalam wacana publik yaitu www.change.org dengan teknik agenda-setting, framing, dan priming, media massa membentuk mass society atau masyarakat massa dengan cara menyebarluaskan kebudayaan massa, khususnya di dalam masyarakat kapitalis moderen.

Priming di level individu (khalayak), jadi mikro. Framing di level media (meso) dan juga individu (mikro). Agenda Setting dalam pengertian agenda media di level media (meso) dan bisa di level makro apabila merujuk ke sistem media.”  Adapun pengertian secara umum: 1. Agenda Setting: Media tell people how to think about; 2. Framing = Interpretation of stories; 3. Priming = Focusing on certain issue. Pendekatan agenda setting dimulai dengan asumsi media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Seleksi ini dilakukan oleh mereka yang disebut gatekeeper, yaitu mereka para wartawan, pemimpin redaksi, dan penyunting gambar. Dari gatekeeper inilah yang menentukan berita apa yang harus dimuat dan apa yang harus disembunyikan. Setiap isu diberi bobot tertentu, apakah dimuat di halaman muka sebagai headline, atau hanya di halaman belakang di sebelah pojok atau bagaimana, sedangkan pada televisi, berapa lama penyiaran, berapa kali ditayangkan, dan sebagainya. Penonjolan isu-isu di media massa inilah yang disebut dengan agenda media, yang akan berkorelasi atau berhubungan dengan agenda publik, yakni apa yang sedang dibicarakan dan dipikirkan oleh orang ramai (community salience). Penelitian lanjutan tentang agenda setting yang dilakukan McComb dan Shaw pada kampanye pemilihan Presiden AS 1972, menemukan bahwa surat kabar menentukan apa yang dianggap penting oleh masyarakat AS. Begitu pula agenda televisi juga berkorelasi dengan agenda pemilih.[6]

Berikut ini adalah bagan hubungan antara agenda media, agenda khalayak dan agenda kebijakan:

Setelah mendudukkan definisi operasional agenda setting, framing dan priming serta faktor-faktor diperlukan yang memengaruhi arah/kekuatan dari efek-efek framing atau mendefinisikan kondisi-kondisi di mana efek-efek framing akan atau tidak akan terjadi. Sekarang penulis menerapkannya untuk melihat kasus “Pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam perpanjangan Kontrak Karya Freeport oleh salah seorang pimpinan DPR” yang dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD DPR menjadi salah satu isyu “panas” (hot issues) yang masih jadi perhatian berbagai media di Indonesia hingga kini.

Penulis mengamati website nasional utama yaitu www.kompas.com,  kenapa website? Karena penulis ingin menunjukkan bahwa media baru yang berbasis internet[7] merupakan fenomena khusus dalam pemberitaan politik nasional sekarang, karena ketepatwaktuan serta keterkaitannya dan kemudahan penyebaran berita melalui medium lainnya seperti Twitter, Facebook, Blackberry, Whatsapp dan lainnya hanya melalui sentuhan Re-tweet, Link, dan lainnya. Sedangkan pembandingnya dua website www.vivanews.com dan www.metrotv.com yang berbeda secara diametral disebabkan pertarungan pada pemilu presiden pada 9 Juli 2014 lalu yang memilih calon presiden berbeda, khususnya bila menyajikan pemberitaan terkait Presiden Jokowisecara sehingga analisa penulis tentang fungsi agenda setting, framing dan priming lebih mudah dipisahkan perbedaannya. Penulis memeriksa jumlah pemberitaan masing-masing website nasional itu melalui mesin pencari www.google.com dan memeriksa judul dan isi beritanya serta website khusus pengumpul dukungan publik melalui petisi www.change.org

Penulis hanya membatasi periode pengamatan sejak kasus #PapaMintaSaham atau pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham PT Freeport Indonesia terkait proses perpanjangan Kontrak Karya II yang akan berakhir pada tahun 2021 serta permintaan saham pribadi oleh Ketua DPR Setya Novanto sebesar 49% di PLTA yang akan dibangun oleh PT Freeport Indonesia, dari awal meledaknya kasus pencatutan nama Presiden/Wapres hingga dibawanya kasus tersebut di Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR-RI yaitu pada hari Rabu tanggal 2 Desember 2015 pukul 13.15 WIB hingga hari Selasa 8 Desember 2015 termasuk pidato Presiden Jokowi yang menanggapi sidang MKD tertutup atas Setya Novanto pada hari Senin 7 Desember 2015, diturunkan www.kompas.com dalam bentuk berita pada pukul 19.17 WIB berjudul “Jokowi: Lembaga Negara Jangan Dipermainkan”[8]

Setelah mendudukkan definisi operasional agenda setting, framing dan priming serta faktor-faktor diperlukan yang memengaruhi arah/kekuatan dari efek-efek framing atau mendefinisikan kondisi-kondisi di mana efek-efek framing akan atau tidak akan terjadi. Sekarang penulis menerapkannya untuk melihat kasus “Pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam perpanjangan Kontrak Karya Freeport oleh salah seorang pimpinan DPR” yang dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD DPR.

Penulis mengamati website nasional utama yaitu www.kompas.com,  kenapa website? Karena penulis ingin menunjukkan bahwa MEDIA BARU yang berbasis INTERNET[9] merupakan fenomena khusus dalam pemberitaan politik nasional sekarang, karena ketepatwaktuan serta keterkaitannya dan kemudahan penyebaran berita melalui medium lainnya seperti Twitter, Facebook, Blackberry, Whatsapp dan lainnya hanya melalui sentuhan Re-tweet, Link, dan lainnya. Sedangkan pembandingnya dua website www.vivanews.com dan www.metrotv.com yang berbeda secara diametral disebabkan pertarungan pada pemilu presiden pada 9 Juli 2014 lalu yang memilih calon presiden berbeda, khususnya bila menyajikan pemberitaan terkait Presiden Jokowi secara sehingga analisa penulis tentang fungsi agenda setting, framing dan priming lebih mudah dipisahkan perbedaannya. Penulis memeriksa jumlah pemberitaan masing-masing website nasional itu melalui mesin pencari www.google.com dan memeriksa judul dan isi beritanya serta website khusus pengumpul dukungan publik melalui petisi www.change.org

Penulis hanya membatasi periode pengamatan sejak kasus #PapaMintaSaham atau pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham PT Freeport Indonesia terkait proses perpanjangan Kontrak Karya II yang akan berakhir pada tahun 2021 serta permintaan saham pribadi oleh Ketua DPR Setya Novanto sebesar 49% di PLTA yang akan dibangun oleh PT Freeport Indonesia, dari awal meledaknya kasus pencatutan nama Presiden/Wapres hingga dibawanya kasus tersebut di Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR-RI yaitu pada hari Rabu tanggal 2 Desember 2015 pukul 13.15 WIB hingga hari Selasa 8 Desember 2015 termasuk pidato Presiden Jokowi yang menanggapi sidang MKD tertutup atas Setya Novanto pada hari Senin 7 Desember 2015, diturunkan www.kompas.com dalam bentuk berita pada pukul 19.17 WIB berjudul “Jokowi: Lembaga Negara Jangan Dipermainkan”[10]

  1. Periode Berita dari 10 November 2015 s/d 8 Desember 2015

Tabel 1

Agenda Setting Kasus Pencatutan Nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla

 dan Framing: Pencatutan Nama, Subjek Sidang MKD DPR, Politisi Kuat

 Website http://www.metrotv.com http://www.vivanews.com http://www.kompas.com
Jumlah Berita Total Total Total
1.       Pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla oleh “Politisi Kuat” dan Harus disidang MKD DPR RI.  

60

 

22

 

 

 

178

 

 

Tanggal 11 Nov -1 Des 2015 17 Nov – 1 Des 2015 10 Nov – 1 Des 2015
Jumlah Berita 53 10 108
Tanggal 2 Des – 8 Des 2015 2 Des – 8 Des 2015 2 Des – 8 Des 2015
Jumlah Berita 7 12 70

 

Tabel 2

Priming Kasus Pencatutan Nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla

Tanggapan Oleh Jumlah Reaksi Tokoh/Publik
1.       Presiden Joko Widodo; Jokowi: “Papa Minta Pulsa” Diganti Jadi “Papa Minta Saham (www.kompas.com Rabu, 18 Nov. 2015)

2.       Presiden Jokowi; Jokowi: Lembaga Negara Jangan Dipermainkan (www.kompas.com Senin, 7 Des.2015)

3.       Presiden Joko Widodo; “Jokowi: Tak Apa Saya Dibilang “Koppig”, tetapi kalau Sudah Meminta Saham, Tak Bisa!” (www.kompas.com Senin, 7 Des. 2015)

1

 

 

1

 

 

 

1

4.       Wapres Jusuf Kalla (Jubir Wapres): “Pencatut Nama Wapres ke Freeport adalah Pejabat Berpengaruh.” (www.kompas.com  Rabu 11 Nov. 2015) 1
5.       Petisi 1: Petisi Ayo dukung Sidang MKD DPR RI Terbuka (www.change.org) 43.633
6.       Petisi 2: Petisi Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK (www.change.org) 89.506
7.       Petisi 3: Petisi Kapolri, Jaksa Agung, Usut Dugaan Pelanggaran Pidana oleh Setya Novanto (www.change.org) 31.140

 

Bila agenda setting seperti yang disimpulkan Entman (1989) adalah, “Media do not just tell us ‘what to think about’ but ‘what to think’” Jadi melalui agenda setting maka, “Media tell us what to think! Dimana pendekatan agenda setting dimulai dengan asumsi media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Maka kapan website nasional www.kompas.com memberitahu audience tentang kasus pencatutan nama Presiden/Wapres dalam kasus Freeport? Ternyata www.kompas.com mulai memuat berita tersebut pada hari Selasa tanggal 10 November 2015 pukul 15:12 WIB dengan judul berita “Menteri ESDM: Ada “Politisi Kuat” yang Catut Nama Presiden dan Wapres ke Freeport”[11] dikutip dari tayangan program talkshow Satu Meja milik Kompas TV pada hari Selasa tanggal 3 November 2015 yang dimoderatori Pemimpin Redaksi Harian Kompas yaitu Budiman Tanuredjo dengan tamu khusus Menteri ESDM Sudirman Said. Adapun kutipan yang diambil www.kompas.com adalah, “Seolah-olah Presiden mintan saham. Wapres juga dijual namanya. Saya sudah laporkan kepada keduanya. Belia-beliau marah karena tak mungkin mereka melakukan itu,” ujar Sudirman Said seperti dikutip dalam acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV dan dikutip Kompas, Selasa (10/11/2015). Dengan demikian, proses agenda setting pencatutan nama Presiden/Wapres ke Freeport dimulai dari tayangan talkshow Satu Meja di Kompas TV dengan host Budiman Tanuredjo yang merupakan gatekeeper harian Kompas dalam posisinya sebagai Pemimpin Redaksi. Ketiga medium ini, KompasTV, Harian Kompas dan website www.kompas.com berada dalam satu grup usaha yaitu PT Kompas Gramedia Grup tetapi masing-masing dikelola oleh manajemen tersendiri.  Memang ada jeda waktu antara tayangan Satu Meja di Kompas TV dengan pembuatan berita di Harian Kompas dan di website www.kompas.com sekitar 7 (tujuh) hari yaitu dari 3 November 2015 ke 10 November 2015. Namun pemuatan berita di Harian Kompas dan website www.kompas.com berlangsung serentak yaitu pada tanggal 10 November 2015. Di website www.kompas.com dengan judul berita “Menteri ESDM: Ada “Politisi Kuat” yang Catut Nama Presiden dan Wapres ke Freeport.”[12]  Tetapi ketiga bersaudara Kompas tersebut tidak pernah menyebut nama Setya Novanto pada awal penayangan di Kompas TV pada 3 November 2015 dan pemberitaan di Harian Kompas dan website www.kompas.com pada 10 November 2015. Setelah itu www.kompas.com pada 11 November 2015 memuat lagi berita “Sudirman Said: Pernah Singgung soal “Politisi Kuat” Saat Rapat dengan Komisi VII DPR”[13] dan dilanjutkan lagi 12 November 2015 dengan judul “Sudirman Said Diminta Tak Buat Gaduh”.[14] Kemudian tanggal 13 November 2015 www.kompas.com mulai membuka identitas pelaku pencatutan dengan menyebut pelakunya anggota DPR melalui berita “Menteri ESDM Sebut Pencatut Nama Jokowi ke Freeport adalah Anggota DPR” dan memuat pertamakali memuat komentar Ketua DPR Setya Novanto, “Saya rasa tidak ada,” kata Novanto di Tokyo, Rabu (11/11/2015).

Apakah dua website lainnya www.metrotv.com dan www.vivanews.com sudah mengangkat berita tersebut pada tanggal 3 November 2015 atau sebelumnya? Website www.vivanews.com baru membuat berita pencatutan nama tersebut pada hari Selasa 17 November 2015 pukul 11.09 WIB dan langsung menyebut nama Setya Novanto Ketua DPR-RI dengan judul berita “Ini Percakapan Diduga Setya Novanto, Pengusaha, dan Freeport”[15] dengan keterangan judul berita “Selain Presiden dan Wapres, nama Luhut juga disebut-sebut” serta memuat bantahan Setya Novanto, “Dengan isu-isu tersebut tentu saya pasti menyampaikan bahwa saya tidak pernah membawa-bawa nama Presiden ataupun Wapres karena yang saya lakukan adalah yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara dan untuk kepentingan masyarakat Indonesia,” ujar Novanto. Novanto mengaku, dirinya berjuang untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Tidak untuk kepentingannya sendiri. Adapun website www.metrotv.com baru memuat berita pencatutatn tersebut pada tanggal Rabu 11 November 2015 pukul 20.33 WIB dengan judul, “Menteri Sudirman Diminta Laporkan Oknum Pencatut Nama Jokowi.”[16] Dengan mengutip Kurtubi anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Nasdem yang menyarankan Sudirman membuka siapa politikus tersebut. Supaya tak menimbulkan fitnah, “Kalau memang ada, umumkan saja,” kata Kurtubi, Rabu (11/11/2015).

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pertamakali menanggapi pencatutan namanya melalui Juru Bicara Wapres, Husain Abdullah, pada Rabu 11 November 2015 pukul 16.42 WIB di www.kompas.com dengan judul “Pencatut Nama Wapres ke Freeport adalah Pejabat Berpengaruh.”[17] “Yang namanya dicatut pastilah orangnya marah. Yang parah, orang yang mencatut (adalah) pejabat berpengaruh,” kata Husain saat dihubungi, Rabu (11/11/2015). Namun Husain tidak bersedia mengungkap nama tokoh politik yang disebutnya “pejabat berpengaruh” dan mencatut nama kepala negara itu. Sedangkan Presiden Jokowi menanggapi pencatutan namanya pertama kali dengan gaya bercanda, “Ada trending topic, ‘Papa minta pulsa’ diganti jadi ‘Papa minta saham,” kata Jokowi ketika membuka Konvensi Nasional humas (KNH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (18/11/2015) dan dimuat www.kompas.com pada Rabu, 18 November 2015 pukul 12.25 WIB dengan judul “Jokowi: “Papa Minta Pulsa” Diganti Jadi “Papa Minta Saham”[18]. Presiden Jokowi mengeluarkan gurauan tentang meme yang tengah populer di media sosial. Meme “Papa minta saham” mengemuka pasca-dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh seorang politisi terkait perpanjangan kontrak Freeport.  Dengan demikian website www.kompas.com sudah melakukan agenda setting yaitu memberitahukan kepada pembacanya tentang pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla secara terus menerus sejak pemberitaan pertama pada pada hari Selasa tanggal 10 November 2015 pukul 15:12 WIB dengan judul berita “Menteri ESDM: Ada “Politisi Kuat” yang Catut Nama Presiden dan Wapres ke Freeport. Artinya website www.kompas.com menjalankan fungsi agenda-setting sesuai definisi, ”Media tell us what to think!” atau dalam kalimat langsung, “Website www.kompas.com tells us what to think!” dan untuk menjamin agar agenda-setting dilakukan terus menerus dengan follow-up berita dengan topik serupa tanpa henti sejak tanggal 10 November 2015 hingga hari ini 8 Desember 2015. Artinya pendekatan agenda setting dijalankan dengan asumsi media massa seperti website www.kompas.com  menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan dalam hal ini pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Jumlah berita tentang pencatutan nama Presiden dan Wapres Jusuf Kalla yang dibuat website www.kompas.com sepanjang tanggal 10 November 2015 hingga 8 Desember 2015 adalah 178 (seratus tujuh puluh delapan) buah berita, di mana jumlah berita dari 10 November 2015 s/d 1 Desember 2015 (sebelum sidang MKD DPR) sebanyak 108 (seratus delapan) buah berita, sedangkan jumlah berita dari tanggal 2 Desember 2015 s/d 8 Desember 2015 sebanyak 70 (tujuh puluh) buah berita. Disusul website www.metrotv.com di mana jumlah berita dari 11 November 2015 s/d 1 Desember 2015 (sebelum sidang MKD DPR) sebanyak 53 (lima puluh tiga) buah berita, sedangkan jumlah berita dari tanggal 2 Desember 2015 s/d 8 Desember 2015 sebanyak 7 (tujuh) buah berita. Sedangkan www.vivanews.com di mana jumlah berita dari 17 November 2015 s/d 1 Desember 2015 (sebelum sidang MKD DPR) sebanyak 10 (sepuluh) buah berita, sedangkan jumlah berita dari tanggal 2 Desember 2015 s/d 8 Desember 2015 sebanyak 12 (dua belas) buah berita.

Bila jumlah dan frekuensi berita yang menjadi ukuran terjadinya agenda setting, maka website www.kompas.com menunjukkan jumlah yang signifikan berbeda dengan website www.metrotv.com apalagi dibandingkan website www.vivanews.com (lihat Tabel 1 di atas) terutama sebelum sidang MKD DPR dengan perbandingan sangat menyolok 108 : 53 : 10, kemudian setelah sidang MKD DPR perbandingan juga menyolok yaitu 70 : 7 : 12, dengan perbandingan total yaitu 178 : 60 : 22. Website www.vivanews.com dalam posisi mati-matian membela Setya Novanto (karena kader Ketum Golkar Aburizal Bakrie, sedangkan www.vivanews.com milik Bakrie Grup) hingga berita hari Selasa tanggal 8 Desember 2015 dengan judul, “Sidang MKD Kasus Novanto, Sudding: Kita Mau Terbuka” di dalam tubuh berita malah membenarkan sidang MKD DPR yang tertutup dengan mengutip Wakil Ketua DPR Fadli Zon (satu kubu dengan Setya Novanto dalam Koalisi Merah Putih) yang mengatakan, dalam UU MD3 diatur bahwa sidang MKD seharusnya tertutup, “Sidang itu memang harus tertutup. Kan orang itu belum tentu bersalah, kenapa harus terbuka. Kalau mau terbuka ajukan judicial review…” ujar kolega Setya Novanto itu.[19]

Lalu apakah framing yang dilakukan www.kompas.com ? Sejak pemberitaan pertama kali pada Selasa 10 November 2015 pukul 15:12 WIB, website www.kompas.com sudah membingkai (framing) bahwa pelakunya adalah “politisi kuat” dan yang dilakukannya adalah “catut nama” Presiden Jokowi dan Wapres JK serta harus ke “sidang MKD DPR” atau menjadi “subjek sidang MKD DPR”. Lihat judul berita, “Menteri ESDM: Ada Politisi “Kuat” yang Catut Nama Presiden dan Wapres ke Freeport”  yang sebenarnya apabila jeli maka pembaca sudah diarahkan pada seseorang yang pernah disebut oleh kandidat presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai orang kuat dan berpengaruh di Indonesia. Di website www.liputan6.com pada 4 September 2015 pukul 12.43 WIB menulis berita “Donald Trump: Apakah Orang Indonesia Menyukai Saya?” kemudian ada kutipan kata-kata Trump sebagai berikut, “Ketua DPR Indonesia ada di sini untuk menyaksikan saya. Setya Novanto orang kuat dan berpengaruh.”[20] Dengan proses framing yang terus menerus dilakukan www.kompas.com hingga terbuka dan diakuinya nama politisi kuat tersebut adalah Setya Novanto Ketua DPR-RI hingga sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) penegasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Setya Novanto adalah pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Lihat berita www.kompas.com pada hari Rabu 2 Desember 2015 pukul 13.22 yang berjudul “Sidang Perdana MKD atas Kasus Setya Novanto Digelar Secara Terbuka”, berita ini ditulis 7 (tujuh) menit setelah sidang MKD dibuka Surahman Hidayat pada pukul 13.15 WIB. Dalam tubuh berita disebutkan kembali istilah pencatutan nama dengan bunyi lengkapnya sebagai berikut, “Sidang ini digelar atas laporan Sudirman kepda MKD terkait dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Setya sehubungan dengan renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia.”[21] Dengan demikian framing yang dilakukan oleh website www.kompas.com adalah: Politisi Kuat Setya Novanto Mencatut Nama Baik Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dan harus diseret ke sidang MKD DPR.

Bagaimana dengan priming berita pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla tersebut? Priming itu terjadi di level individu (khalayak) atau bahkan massa. Yang paling diperhatikan orang atau khalayak atau massa adalah apa yang paling cepat melintas dalam pikirannya. Dengan memberikan perhatian pada aspek tertentu dari politik, media akan membantu untuk menentukan penilaian politik, termasuk evaluasi terhadap tokoh politik. Berarti tanggapan Wapres Jusuf Kalla melalui Juru Bicara Husain Abdullah dalam berit pada Rabu 11 November 2015 pukul 16.42 WIB di www.kompas.com dengan judul “Pencatut Nama Wapres ke Freeport adalah Pejabat Berpengaruh” dapat dikategorikan sebagai priming,  Termasuk juga tanggapan Presiden Joko Widodo dengan gaya bercanda, “Ada trending topic, ‘Papa minta pulsa’ diganti jadi ‘Papa minta saham,” kata Jokowi ketika membuka Konvensi Nasional humas (KNH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (18/11/2015) dan dimuat www.kompas.com pada Rabu, 18 November 2015 pukul 12.25 WIB dengan judul “Jokowi: “Papa Minta Pulsa” Diganti Jadi “Papa Minta Saham”. Kemudian ditutup dengan pidato bernada “kemarahan’ oleh Presiden Jokowi menanggapi sidang MKD tertutup atas Setya Novanto di mana www.kompas.com memuat berita “Jokowi: Tak Apa Saya Dibilang “Koppig”, tetapi kalau Sudah Meminta Saham, Tak Bisa!” Kemarahan itu terungkap dalam kutipan berikiut, “Saya tidak apa-apa Presiden gila, sarap, koppig tidak apa. Tetapi kalau sudah dibilang mencatut, meminta saham, itu yang tidak bisa,” ungkap Jokowi dengan nada tinggi di Istana Merdeka, Senin (7/12/2015). [22] pada Senin tanggal 7 Desember 2015 pukul 19:37 WIB.  Sementara itu priming yang langsung dari khalayak pembaca website www.kompas.com dimulai sejak berita pertama diturunkan www.kompas.com pada Selasa 10 November 2015 hanya dibaca 2.779 orang dan komentar pembacanya 13 buah dan masih samar-samar opininya selain tak ada yang mencantumkan nama asli, hanya anomim seperti “Pecinta Hujan”. Penulis kutip komentar “Pecinta Hujan” sebagai berikut, “Freeport sendiri dijadwalkan habis kontrak pada 2021 mendatang maka upaya lobi atau pembahasan kontrak dapat dilakukan Freeport 2 tahun sebelum masa kerjasama berakhir. Soal catut-mencatut, Presiden Jokowi pasti bersikap tegas. Tidak mau didikte politisi manapun.” Berbeda halnya dengan komentar pembaca terhadap berita salinan wawancara penuh Menteri ESDM Sudirman Said yang disalin redaksi www.kompas.com dari program Satu Meja dari Kompas TV dan dimuat pada Rabu 18 November 2015 pukul 11:40 WIB yang berjudul “Skandal Freeport: Sudirman Said Blakblakan Soal Freeport dan Petral”[23] dan dibaca oleh 53.927 pembaca dan dikomentari 6 orang, salah satu komentar “nama asli” dari Frans Purba sudah menunjukkan pemahaman selaras dengan “agenda setting dan framing” di atas dan “seolah setuju” adanya pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, berbunyi sebagai berikut, “…bahwa kasus setya novanto ini hanyalah merupakan puncak gunung es di lautan mafia republik ini. Kita sangat tahu bahwa perilaku seperti ini adalah perilaku umum dari mayoritas partai2 politik – setya novanto adalah kader partai – dan semua partai mempunyai perpanjangan tangan baik di legislatif dari pusat s/d ke daerah atau dgn ringkasnya kita sebut partai2 politik itu rata adalah semacam sarang penyamun…”

Terkait priming ini muncul pula sifat aktif dari khalayak yang berinisiatif, atau menanggapi, atau terpengaruh “agenda setting dan framing media massa” termasuk oleh www.kompas.com di atas adalah Petisi yang difasilitasi www.change.org sebuah website yang mengkhususkan diri untuk menampung petisi masyarakarat untuk semua masalah publik. Berkenaan kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla ada beberapa petisi yang dibuat dan mendapat dukungan puluhan ribu orang, diantaranya: 1. Petisi Ayo dukung Sidang MKD DPR RI Terbuka (Oleh Gerakan Turun Tangan Medan)[24] yang didukung 43.633 orang pendukung; 2. Petisi Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK (Oleh A. Setiawan Abadi)[25] yang didukung 89.506 orang pendukung; 3. Petisi Kapolri, Jaksa Agung, Usut Dugaan Pelanggaran Pidana oleh Setya Novanto (Oleh A. Setiawan Abadi)[26] yang didukung 31.140 orang pendukung. Dengan demikian proses priming terjadi baik secara aktif dilakukan oleh khalayak atau audience atau massa, secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh website www.kompas.com di tingkat meso, maupun dipengaruhi oleh media massa secara umum di tingkat makro.

Dari pembahasan di atas, penulis juga dapat menarik kesimpulan bahwa dengan agenda setting yang dilakukan website www.kompas.com dan www.metrotv.com terutama yang paling menonjol dan paling antusias adalah website www.kompas.com dapat pula disimpulkan bahwa dari agenda setting media (media agenda) tentang pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla akhirnya menjadi agenda publik (public agenda) dan dipuncaki sebagai agenda kebijakan (policy agenda) berupa sidang MKD DPR, mungkin akan lebih jauh lagi apabila kasus ini dikategorikan perbuatan kriminal bukan sekadar kasus pelanggaran etika DPR. Dengan demikian terbukti secara empiris pendekatan teoritis di atas bahwa terjadi proses transformasi media agendaà public agendaà policy agenda dalam kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.

Apabila agenda media bisa berubah menjadi agenda publik atau audience atau massa sedemikian rupa dalam contoh kasus di atas, dapat disimpulkan demikianlah cara kerja media massa “memanipulasi” isi pikiran massa dengan komoditi kebudayaan populer seperti interpelattion ideologi yang masuk ke dalam lembaga sosial dan mengkonstruksi identitas pikiran manusia dengan proses dalam lembaga sosial serta wacana dalam interaksi sosial, kata Althusser, selain dengan cara manipulasi fetisisme komoditas seperti yang dikatakan Adorno. Akan tetapi sifat aktif dari audience dalam memberikan makna baru terhadap agenda setting dan framing dari media massa dapat dilihat sebagai contoh bahwa perubahan (change) struktur bisa terjadi jika semakin banyak aktor/agen yang mengadopsi kesadaran diskursif. Yaitu, manakala si agen “mengambil jarak” dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan dengan mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya bisa berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan, dan praktis telah mengubah struktur tersebut. Perubahan juga bisa terjadi karena konsekuensi dari tindakan, yang hasilnya sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya (unintended consequences). Unintended consequences mungkin secara sistematis menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui bagi munculnya tindakan-tindakan lain lebih jauh. Dalam kasus unintended consequences ini, bukan adanya atau tidak-adanya niat (intention) yang penting. Namun, adanya kompetensi atau kapabilitas di pihak si agen untuk melakukan perubahan. Di sini kita dapat melihat bahwa sifat aktif dari audience juga menentukan hasil atau efek dari upaya “teknik menanamkan ideologi” melalui agenda setting dan framing media massa.

 

Daftar Pustaka

  1. Buku dan Jurnal

Castells, Manuel. The Rise of Network Society: Vol.1. The Information Age: Economy, Society,

                        and Culture. UK:  Blackwell, 1996.

———————Networks of Outrage and Hope. UK: Polity, 2015.

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Cetakan IV. Yogyakarta:

LKIS, 2007.

Gazali, Effendi.  “Learning by clicking: An Experiment with social media democracy in

Indonesia,” dalam The  International Communication Gazette Volume 76 (4-5),

2014

 

Protess, David L., dan Maxwell McComb. Agenda Setting: Reading on Media, Public Opinion, and

                        Policy Making. New Jersey: LEA, Inc., Publishers, 1991.

Rachman, M. Fadjroel. “Revolusi Mei 1998, Media Massa, dan Penghapusan Peran Politik,

Teritorial dan Bisnis TNI/Polri” dalam Dedy N. Hidayat, Effendi Gazali, Harsono

Suwardi, Ishadi S.K (ed.). Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah

                        Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

 

——————— Democracy Without The Democrats: On Freedom, Democracy, and The

                       Welfare State, Jakarta: Friedrih Ebert Stiftung, 2007.

 

———————- Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi dan

                           Negara  Kesejahteraan, Jakarta: Penerbit Koekoesan, 2007

 

Shah, Dhavan V., Douglas M. McLeod, Melissa R. Gotlieb, dan Nam-Jin Lee, “Framing and

Agenda Setting”, dalam Robin L. Nabi dan Mary Beth Oliver (ed.) Media

                        Processes and Effects. USA: SAGE Publications, Inc., 2009.

Strinati, Dominic. An Introduction to Theories of Popular Culture. Second Edition. London:

Routledge, 1995.

  1. Internet

Jokowi: Lembaga Negara Jangan Dipernainkan  http://nasional.kompas.com/read/2015/12/07/19171951/Jokowi.Lembaga.Negara.Jangan.Dipermainkan. Diunduh 8 Desember 2015.

Sudirman Said: Pernah Singgung soal “Politisi Kuat” Saat Rapat dengan Komisi VII DPR” http://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/12014101/Sudirman.Said.Pernah.Singgung.soal.Politisi.Kuat.Saat.Rapat.dengan.Komisi.VII.DPR. Diunduh 8 Desember 2015.

Sudirman Said Diminta Tak Buat Gaduh  http://nasional.kompas.com/read/2015/11/12/10455231/Sudirman.Said.Diminta.Tak.Buat.Gaduh. Diunduh 8 Desember 2015.

Ini Percakapan Diduga Setya Novanto, Pengusaha, dan Freeport http://politik.news.viva.co.id/news/read/700258-ini-percakapan-diduga-setya-novanto–pengusaha–dan-freeport. Diunduh 8 Desember 2015.

 

Menteri Sudirman Diminta Laporkan Oknum Pencatut Nama Jokowi http://news.metrotvnews.com/read/2015/11/11/189889/menteri-sudirman-diminta-laporkan-oknum-pencatut-nama-jokowi. Diunduh 8 Desember 2015.

Pencatut Nama Wapres ke Freeport adalah Pejabat Berpengaruh http://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/16425181/Pencatut.Nama.Wapres.ke.Freeport.adalah.Pejabat.Berpengaruh. Diunduh 8 Desember 2015.

Jokowi: “Papa Minta Pulsa” Diganti Jadi “Papa Minta Saham”  http://nasional.kompas.com/read/2015/11/18/12251601/Jokowi.Papa.Minta.Pulsa.Diganti.Jadi.Papa.Minta.Saham. Diunduh 8 Desember 2015.

Sidang MKD Kasus Novanto, Sudding: Kita Mau Terbuka http://politik.news.viva.co.id/news/read/708297-sidang-mkd-kasus-novanto–sudding–kita-mau-terbuka. Diunduh 8 Desember 2015.

Donald Trump: Apakah Orang Indonesia Menyukai Saya http://news.liputan6.com/read/2309544/donald-trump-apakah-orang-indonesia-menyukai-saya. Diunduh 8 Desember 2015.

Sidang Perdana MKD atas Kasus Setya Novanto Digelar secara Terbuka http://nasional.kompas.com/read/2015/12/02/13224121/Sidang.Perdana.MKD.atas.Kasus.Setya.Novanto.Digelar.secara.Terbuka. Diunduh 8 Desember 2015.

Jokowi: Tak Apa Saya Dibilang “Koppig”, tetapi kalau Sudah Meminta Saham, Tak Bisa! http://nasional.kompas.com/read/2015/12/07/19374931/Jokowi.Tak.Apa.Saya.Dibilang.Koppig.tapi.Kalau.Sudah.Meminta.Saham.Tak.Bisa. Diunduh 8 Desember 2015.

Skandal Freeport: Sudirman Said Blakblakan Soal Freeport dan Petral http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/13/112900126/Sudirman.Said.Blakblakan.soal.Freeport.dan.Petral?page=all. Diunduh 8 Desember 2015.

Petisi MKD: Buka Sidang setya Novanto kepada publik https://www.change.org/p/mkd-buka-sidang-setya-novanto-kepada-publik-sur-hidayat-dpr-ri. Diunduh 8 Desember 2015.

Petisi Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK https://www.change.org/p/pecat-ketua-dpr-setya-novanto-yang-mencatut-nama-presiden-joko-widodo-dan-wapres-jk?source_location=petition_footer&algorithm=curated_trending&grid_position=3. Diunduh 8 Desember 2015.

Petisi Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK https://www.change.org/p/kapolri-jaksa-agung-usut-dugaan-pelanggaran-pidana-oleh-setya-novanto-divhumaspolri-kpk-ri?source_location=petition_footer&algorithm=curated_trending&grid_position=1. Diunduh 8 Desember 2015.

  1. Fadjroel Rachman, Democracy Without The Democrats: On Freedom, Democracy, and The Welfare State, Jakarta: Friedrih Ebert Stiftung, 2007 http://www.fes.or.id/fes/download/1206525556.pdf . Diunduh 10 Desember 2015.
  2. Eka Wenats Wuryanta http://ekawenats.blogspot.co.id/2006/12/priming-framing-agenda-setting.html Diunduh 10 Desember 2015.

Susanto Karthubij, Agenda Setting, Framing dan Priming  https://paksanto.wordpress.com/2010/05/08/agenda-setting-framing-dan-priming/ Diunduh 10 Desember 2015.

 

  1. Lampiran Copy Berita

 

  1. Menteri ESDM: Ada Politisi “Kuat” yang Catut Nama Presiden dan Wapres ke Freeport (kompas.com Selasa, 10 November 2015).
  2. Pencatut Nama Wapres ke Freeport adalah Pejabat Berpengaruh (kompas.com Rabu, 11 November 2015).
  3. Skandal Freeport: Sudirman Said Blakblakan Soal Freeport dan Petral (kompas.com 18 November 2015). Berita ini merupakan salinan wawancara lengkap program Satu Meja di KompasTV dengan host Pemimpin Redaksi Harian Kompas dan dikutip Harian Kompas pada tanggal 10 November 2015.
  4. Petisi Ayo dukung Sidang MKD DPR RI terbuka! (change.org ).
  5. Petisi Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK (change.org)

 

[1] Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, Second Edition, London: Routledge, 1995.

[2] Ibid

[3] Struktur dan agensi ini merupakan konsep yang dikembangan sosiolog Inggris bernama Anthony Giddens yang menekankan bahwa ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme Parsonian dan strukturalisme, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, tradisi hermeneutik, yang cenderung ke subyektivisme). Anthony Giddens tidak memilih salah satu, tetapi merangkum keduanya lewat teori strukturasi. Lewat teori strukturasi, Giddens menyatakan, kehidupan sosial adalah lebih dari sekadar tindakan-tindakan individual. Namun, kehidupan sosial itu juga tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial. Menurut Giddens, human agency dan struktur sosial berhubungan satu sama lain. Tindakan-tindakan yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individual-lah yang mereproduksi struktur tersebut. Tindakan sehari-hari seseorang memperkuat dan mereproduksi seperangkat ekspektasi. Perangkat ekspektasi orang-orang lainlah yang membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai “kekuatan sosial” dan “struktur sosial.” Hal ini berarti, terdapat struktur sosial –seperti, tradisi, institusi, aturan moral—serta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga berarti bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda. Lihat Satrio Arismunandar dalam http://sosiologi.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=81:teory-strukturasi-giddens&catid=34:informasi diunduh 15 Desember 2015.

[4] Agus Sudibyo, op. cit., hlm. 130.

[5] Dedy N. Hidayat, ‘Jurnalis, Kepentingan Modal, dan Perubahan Sosial”, dalam Dedy N. Hidayat, Effendi Gazali, Harsono Suwardi dan Ishadi SK. (penyunting), Pers dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni,  PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 431-447.

[6] Henri Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Edisi Kedua, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2012, hal.14.

[7] Miriam J. Metzger, “The Study of Media Effects in The Era on Internet Communication” dalam Robin L. Nabi dan Mary Beth Oliver (ed.), Media Processes and Effects, USA, SAGE Publications, Inc., 2009, hal. 561-576.

[8] Jokowi: Lembaga Negara Jangan Dipernainkan  http://nasional.kompas.com/read/2015/12/07/19171951/Jokowi.Lembaga.Negara.Jangan.Dipermainkan, diunduh 8 Desember 2015.

[9] Miriam J. Metzger, “The Study of Media Effects in The Era on Internet Communication” dalam Robin L. Nabi dan Mary Beth Oliver (ed.), Media Processes and Effects, USA, SAGE Publications, Inc., 2009, hal. 561-576.

[10] Jokowi: Lembaga Negara Jangan Dipernainkan  http://nasional.kompas.com/read/2015/12/07/19171951/Jokowi.Lembaga.Negara.Jangan.Dipermainkan, diunduh 8 Desember 2015.

[11]Menteri ESDM: Ada Politisi “Kuat” yang Catut Nama Presiden dan Wapres ke Freeport http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/10/151219126/Menteri.ESDM.Ada.Politisi.Kuat.yang.Catut.Nama.Presiden.dan.Wapres.ke.Freeport diunduh 8 Desember 2015.

[12] Ibidwww.kompas.com

[13] Sudirman Said: Pernah Singgung soal “Politisi Kuat” Saat Rapat dengan Komisi VII DPR” http://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/12014101/Sudirman.Said.Pernah.Singgung.soal.Politisi.Kuat.Saat.Rapat.dengan.Komisi.VII.DPR diunduh 8 Desember 2015.

[14] Sudirman Said Diminta Tak Buat Gaduh  http://nasional.kompas.com/read/2015/11/12/10455231/Sudirman.Said.Diminta.Tak.Buat.Gaduh diunduh 8 Desember 2015.

[15] Ini Percakapan Diduga Setya Novanto, Pengusaha, dan Freeport http://politik.news.viva.co.id/news/read/700258-ini-percakapan-diduga-setya-novanto–pengusaha–dan-freeport diunduh 8 Desember 2015.

[16] Menteri Sudirman Diminta Laporkan Oknum Pencatut Nama Jokowi http://news.metrotvnews.com/read/2015/11/11/189889/menteri-sudirman-diminta-laporkan-oknum-pencatut-nama-jokowi diunduh 8 Desember 2015.

[17] Pencatut Nama Wapres ke Freeport adalah Pejabat Berpengaruh http://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/16425181/Pencatut.Nama.Wapres.ke.Freeport.adalah.Pejabat.Berpengaruh diunduh 8 Desember 2015.

[18] Jokowi: “Papa Minta Pulsa” Diganti Jadi “Papa Minta Saham”  http://nasional.kompas.com/read/2015/11/18/12251601/Jokowi.Papa.Minta.Pulsa.Diganti.Jadi.Papa.Minta.Saham. diunduh 8 Desember 2015.

[19] Sidang MKD Kasus Novanto, Sudding: Kita Mau Terbuka http://politik.news.viva.co.id/news/read/708297-sidang-mkd-kasus-novanto–sudding–kita-mau-terbuka diunduh 8 Desember 2015.

[20] Donald Trump: Apakah Orang Indonesia Menyukai Saya http://news.liputan6.com/read/2309544/donald-trump-apakah-orang-indonesia-menyukai-saya diunduh 8 Desember 2015.

[21] Sidang Perdana MKD atas Kasus Setya Novanto Digelar secara Terbuka http://nasional.kompas.com/read/2015/12/02/13224121/Sidang.Perdana.MKD.atas.Kasus.Setya.Novanto.Digelar.secara.Terbuka diunduh 8 Desember 2015.

[22] Jokowi: Tak Apa Saya Dibilang “Koppig”, tetapi kalau Sudah Meminta Saham, Tak Bisa! http://nasional.kompas.com/read/2015/12/07/19374931/Jokowi.Tak.Apa.Saya.Dibilang.Koppig.tapi.Kalau.Sudah.Meminta.Saham.Tak.Bisa diunduh 8 Desember 2015.

[23] Skandal Freeport: Sudirman Said Blakblakan Soal Freeport dan Petral http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/13/112900126/Sudirman.Said.Blakblakan.soal.Freeport.dan.Petral?page=all diunduh 8 Desember 2015.

[24] Petisi Ayo dukung Sidang MKD DPR RI Terbuka https://www.change.org/p/mkd-buka-sidang-setya-novanto-kepada-publik-sur-hidayat-dpr-ri diunduh 10 Desember 2015.

[25] Petisi Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK https://www.change.org/p/pecat-ketua-dpr-setya-novanto-yang-mencatut-nama-presiden-joko-widodo-dan-wapres-jk?source_location=petition_footer&algorithm=curated_trending&grid_position=3 diunduh 10 Desember 2015.

[26] Petisi Kapolri, Jaksa Agung, Usut Dugaan Pelanggaran Pidana oleh Setya Novanto  https://www.change.org/p/kapolri-jaksa-agung-usut-dugaan-pelanggaran-pidana-oleh-setya-novanto-divhumaspolri-kpk-ri?source_location=petition_footer&algorithm=curated_trending&grid_position=1 diunduh 10 Desember 2015.

hidup yang tida…

HIDUP YANG TIDAK DIPERJUANGKAN, TAK AKAN PERNAH DIMENANGKAN  ~ @Fadjroel Rachman

Fadjroel Rachman, Figure and Thoughts (Optimism for the Birth of Democracy Regime)

It has been nine years of journey for Indonesia since President
Soeharto relinguished power. During those time too, the hope
that was launched high is descending slowly. Indonesia is taken
in prolonged transition because the agenda of change was not
executed totally.
In the midst of anxiety of reform hope that never come, a hint
of optimism appears in M Fadjroel Rachman. Democracy is a big
historical stream, it needs new generation of leadership, an alternative
power with progressive idea of change.
The following is the excerpt of conversation with Fadjroel, an
activist and thinker.

How do you see the nine-year journey of reform?
Our initial desire was not just a change in national leadership,
but also structural change. The 1998 Reform Movement was only
successful in toppling Soeharto but was not successful in revoking its
economic social regime until today.
The elements of New Order for this nine years are revitalizing
themselves and determining the direction and pace of reform. Golkar
Party becomes very fresh until this day. Conglomeration that became
the basis of current economic inequality is taking over national
leadership. Next, 3.7 million people in bureaucracy inherited from
New Order are also irreplaceable. The emergence of Yudhoyono
means that TNI is finding its recuperation point. Reform agenda to
eliminate TNI/Polri business until today is not working.

How is this possible?
1998 Movement was practically just a mass movement, it did
not have solid idea of change and organization for political change.
How is this possible? Because during New Order rule, there was no
opportunities to express opinions openly thus dialogs to produce
alternative ideas are truly closed. Since there was no political rights,
also no solid organization of movements. Students came to MPR/
DPR building as anonymous mass, not as organized and educated
mass.
The main key of reform failure is because Soeharto is not
punished. When a crime is left out without trial, the space becomes
blur. As if democracy space becomes a room where all is allowed.

Initial scenario?
Soeharto and Habibie was finished as a package that must be
toppled because they are the top of New Order regime. Yet, during
the occupation of MPR/DPR building, the problem was, the one that
came to heart and mind was just Soeharto. New Order returns with
only three steps: elevate Habibie, elevate Gus Dur (Abdurrahman
Wahid) and use Megawati to set aside Gus Dur; and beat Megawati.
At that time there was 1999 election as democratic mechanism.
Part of reform element participated in election, part of them
rejected because the election was organized by Habibie and New
Order control. Especially since Golkar still participated.
In transition from totalitarian regime to democracy, there is
bridge with several condition. One, new constitution. The mistake of
totalitarian regime is corruption and serious violation of human rights.
Chech made lustration law. Communist party and its officers, to local
levels, were not allowed to participate in election for one period.
In Indonesia, the transition bridge is all gone. Thus, this is indeed
a regime of recondition.

The fact is, is there anyone who choose to participate in
election?
They who participated are rolled in the game, also validating
and legitimizing the game. Their mistake (the one who participated
and lost) was that they thought the hysteria mass that toppled Soeharto was their mass.

That is non-sense. What happened in 1999 election was two legitimacy and one illusion.

Then, how to fix it?
What should be done by new political power is democratizing
this limited democracy. The parameter of democratic regime is the
securing of civil, political, economic, social, and cultural rights. Those
were dismantled. The main task and challenge is to uproot cleanly
through new political agenda. The worst part of reform was the
conglomerates and merchants who led and guided state’s economic
political policy. Under the New Order, they were led and guided by
Soeharto. Data from World Bank, during 1975-2004, the map of
distribution of income has not changed. For five periods of presidency,
social inequality, economic gap, are everlasting

Is it still possible to do?
If we look at the experience of Latin America, they too failed
once, there was some kind of “disappointment virus”. After being
disappointed, they concluded: they must base themselves on social
movement, building alternative power with alternative political
program.
One power of 1998 student movement said that they would
take over political power, basing it on students. That is non-sense,
illusion, rotten dream. If they want to build an alternative political
power, they (student movement) must become one part of other
power of social movement.

Is it possible that there would be actors who would execute
such progressive program?
Political change cannot rely on just one person, but there must
be one generation of national leadership. If this Republic only relies
on Soekarno, on Hatta, if there was no Sjahrir, this Republic would
be gone. Our dream today is to create a national leadership generation
that together would be responsible for the fate of this big ship

Optimism
Fadjroel very much admires Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, and Soedjatmoko,
whom he called “Father of this Republic” and The Father of Welfare State’s Ideas in Indonesia. In addition,

Fadjroel also calls the physics expert and philosopher Karl R Popper
as a figure that influences his way of thinking, that pushes the
application of scientific ideas on social movement. “Social political
policy is hypothetical, temporary, fallible, and complies to critical
approach,” said Fadjroel. While at Bandung Technology Institute (ITB, Institut Teknologi
Bandung), Fadjroel matures with a number student actions that sent
him a number of times to jail. The culmination, August 5, 1989 action
led to three year sentence (with once being sent to Nusakambangan)
plus being fired as student of ITB. While in jail, his humanity is
protected with the chances to write and to garden.
Also, in jail Fadjroel learned to cook. One of the memorial menu
that his wife often misses is “pizza-likepoverty”.
Young Fadjroel learned karate as means of self-defense. Now,
this father of two children prefers to hike with family.

Any advantage of Indonesian position post reform like today?
People reflect and contemplate. The pace of consolidation of
New Order elements is far quicker than that of the alternative political
power. Change must be progressive and local. If not, what happens
is just compromise like today, stopping us from jumping to democracy
regime. We are in a prolonged transition of democracy.

You are still optimistic that reform would find its goal again?
It is only one more step to finish this. The most important lesson
of the past nine years is that reform can easily be hijacked by “snake”
people because we are not strong enough to formulate program and
agenda of political change, not serious in developing organization
that is truly mature that we are easily infiltrated and be defeated by
enemy. We are wrong, they too once were wrong, but we learn from
disappointment.
Democracy is like a flood of history. New Order people, military,
and the recondition order would definitely be eliminated by the rush
of history. Perhaps now is just a founding stone for future democratic
regime.
Many activists use reform as “stepping stone”.
Many have changed, but not all. As a journey, some stay for a
while, some move on. Hopefully the caliphs could continue to

complete the journey to the oasis of democracy. For those who stay
for a while, it’s okay as long as they are not disturbing the journey.
Because indeed what we are doing is trial and error. Democracy is
about struggle of ideas, convincing people to believe in ideas.
The last sentence (Soe Hok Gie) in the Gie movie was really
good. It is better to be exiled than to give up to hypocracy.

(Harian KOMPAS Oleh: Sidik Pramono)

Analisis Putusan KPPU: Persekongkolan Tender dan Rahasia Perusahaan

  1.  Analisis pengertian Pasal 22 mengenai persekongkolan tender dalam kasus penjulan taker Pertamina VLCC.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada:

Bagian Keempat

 Tentang Persekongkolan

 Pasal 22

 “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender  sehingga  dapat  mengakibatkan  terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”[1]

Adapun Penjelasan Pasal 22 tersebut adalah:

  1. Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang atau untuk menyediakan jasa.[2]
  2. Kemudian Unsur Pasal tersebut adalah :
    1. Pelaku usaha
    2. Bersekongkol
    3. Pihak lain
    4. Mengatur dan/atau menentukan pemenang tender
    5. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Sebelumnya kita kembali menegaskan Tujuan UURI No.5/199 ini adalah:

  1. Menjaga kepentingan umum meningkatkan efisiensi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga menjamin adanya kepastian berusaha;
  3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Adapun Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 merupakan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Persengkongkolan Dalam Tender, yang selanjutnya disebut Pedoman, adalah dokumen pedoman  pelaksanaan Pasal 22 terkait  dengan Persengkongkolan Dalam Tender.[3]

Menurut A.M.Tri Anggraini[4] adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisa adanya persekongkolan dalam tender adalah:

  1. Dalam UU No. 5/1999, persekongkolan dalam tender dinyatakan sebagai rule of reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat.
  2. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu diketahui : apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha .

Lebih jauh menurut A.M.Tri Anggraini bahwa prinsip-prinsip tender yang harus dipatuhi[5]:

  1. Terbuka atau transparan dan diumumkan secara luas
  2. Non diskriminatif dan dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama
  3. Tidak memuat persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu

Apa akibat jangka pendek dari  persekongkolan tender? Menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa pada harga dan kualitas yang bersaing.

Lalu apa akibat jangka panjang dari persekongkolan tender? Menimbulkan kerugian pada negara (dalam tender pemerintah) karena praktek persekongkolan tender pada umumnya berujung pada penggembungan (mark up) anggaran sehingga dapat mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.

Penulis mengkaji kasus PUTUSAN Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2004[6] tentang Proses Penjualan 2 (dua) unit Tanker Very Large Crude Carrier yang diduga melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya diduga melakukan praktek persekongkolan tender.

Sesuai dengan salinan perkara, penulis kutip para pihak adalah sebagai berikut:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut  Komisi yang memeriksa dugaan pelanggaran terhadap Pasal 16, Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, selanjutnya disebut  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh:—————–

1. PT Pertamina (Persero), yang beralamat kantor di Jalan Medan Merdeka Timur 1A,   Jakarta Pusat 10110, selanjutnya disebut Terlapor I;———————–

2. Goldman Sachs (Singapore), Pte. yang beralamat kantor di 1 Raffles Link #07-01, Singapore 039393,  selanjutnya disebut Terlapor II;—————————-

3. Frontline, Ltd. yang beralamat kantor di Par-La-Ville Place, 14 Par-La-Ville Road Hamilton HM 08, Bermuda,  selanjutnya disebut Terlapor III;——————–

4. PT Corfina Mitrakreasi yang beralamat kantor di Menara Kebon Sirih lt. 21, Suite 2106, Jalan Kebon Sirih No. 17-19, Jakarta 10340,  selanjutnya disebut Terlapor IV;—

5. PT Perusahaan Pelayaran Equinox yang beralamat kantor di World Trade Center lt. 17, Jalan Jenderal Sudirman Kav 29-31, Jakarta 12920,  selanjutnya disebut Terlapor V;-

Kemudian penulis mengutip  KPPU menerangkan tentang duduk perkara sebagai berikut:

Menimbang bahwa pada tanggal 29 Juni 2004 dan pada tanggal 9 Juli 2004, Komisi telah menerima laporan yang pada pokoknya  terdapat dugaan pelanggaran Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan Proses Penjualan 2 (dua) unit Tanker Very Large Crude Carrier (selanjutnya disebut “VLCC”) Nomor Hull 1540 dan 1541 milik Terlapor I (selanjutnya disebut “Divestasi VLCC”) yang dilakukan melalui persekongkolan untuk mengatur pemenang;

Karena dalam UU No. 5/1999, persekongkolan dalam tender dinyatakan sebagai rule of reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat. Maka KPPU atau Komisi membentuk tim pemeriksa dalam pemeriksaan pendahuluan setelah melakukan pertimbangan atas laporan, penulis kutip sebagai berikut[7]:

Menimbang bahwa atas dasar laporan tersebut, pada tanggal 9 Juli 2004 Komisi telah melakukan klarifikasi terhadap Pelapor yang hasilnya sebagai berikut:———————

2.1 Bahwa penunjukan Terlapor II sebagai  financial advisor  dan  arranger dalam Divestasi VLCC tidak dilakukan melalui proses tender terbuka;————————

2.2 Bahwa tidak ada urgensi yang dapat membenarkan penunjukan langsung Terlapor II tersebut;——————————————————————-

2.3 Bahwa proses penentuan pemenang Divestasi VLCC ditetapkan melalui penilaian yang tidak jelas dan tidak konsisten.——————————-

Menimbang bahwa untuk membantu Tim Pemeriksa dalam Pemeriksaan Pendahuluan,  Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi mengeluarkan Surat Tugas Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi Nomor 20/SET/DE/ST/VII/2004 tanggal 29 Juli 2004, yang menugaskan Ismed Fadillah, S.H., M.Si., Drs. Malino Pangaribuan, Helli Nurcahyo, S.H., LL.M., Dewi Sita Yuliani, S.T., Farid Fauzi Nasution, S.H., S.IP. dan Abdul Hakim Pasaribu, S.E. Ak. masing-masing sebagai Investigator, serta Arnold Sihombing, S.H. dan Muhammad Hadi Susanto, S.H. masing-masing sebagai Panitera.[8]

Kemudian Tim Pemeriksa dalam Pemeriksaan Pendahuluanmenemukan sejumlah indikasi yang sesuai dengan yang disampaikan Pelapor, penulis kutipkan sebagai berikut:[9]

. Menimbang bahwa setelah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16, Pasal 19 huruf d dan Pasal 22  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, Tim Pemeriksa merekomendasikan agar pemeriksaan dilanjutkan ke Pemeriksaan Lanjutan dengan alasan sebagai berikut:—————-

16.1 Bahwa ditemukan indikasi kuat telah terjadi persekongkolan antara Terlapor I dengan badan usaha asing (pihak luar negeri) dalam hal ini dengan Terlapor II;–

16.2 Bahwa ditemukan adanya indikasi kuat  telah terjadinya diskriminasi dalam proses penunjukan  financial advisor  dan  arranger tersebut serta diskriminasi dalam penentuan pemenang dalam tender Divestasi VLCC;————

16.3 Bahwa ditemukan indikasi kuat terjadinya persekongkolan untuk menentukan pemenang dalam tender Divestasi VLCC;——————————

17. Menimbang bahwa atas dasar rekomendasi Tim Pemeriksa tersebut, Komisi mengeluarkan Penetapan Komisi Nomor 15/PEN/KPPU/IX/2004 tanggal 10 September 2004 untuk melanjutkan Perkara Nomor 07/KPPU-L/2004 ke Pemeriksaan Lanjutan terhitung sejak tanggal 10 September 2004 sampai dengan tanggal 13 Desember 2004;–

Bila disebutkan adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16, Pasal 19 huruf d dan Pasal 22  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Maka pelanggaran Pasal 16 yang dimaksud adalah tentang Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri dalam Pasal 16 berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Lalu Pasal 19 huruf d terkait Penguasaan Pasar, berbunyi “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.” Sedangkan Pasal 22 tentang Persekongkolan berbunyi, “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang  tender  s ehingga  dapat mengakibatkan  terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Dalam pertimbangan hukum Komisi disebutkan bahwa peserta tender diketahui ada 7 perusahaan yang melakukan penawaran: “Bahwa terdapat 7 (tujuh) perusahaan yang mengajukan penawaran, 6 (enam) perusahaan dari 43 (empat puluh tiga)  potential bidder yang diundang dan 1 (satu) perusahaan yang tidak diundang sebelumnya  (Bukti B1, B2, B5, B11, B29, C217 – C223)[10].

Kemudian disebutkan juga,”Bahwa Ketua Tim Divestasi menyatakan adanya kemungkinan kebocoran atas harga penawaran Essar karena hanya terpaut US$ 500 ribu dari penawaran tertinggi sebelumnya pada  enhancement bid (Bukti B5, B20, B28, B35, C155)[11].

Hingga finalisasi tender, tercatat harga penawaran tiga teratas adalah : 1. Essar US$183,5 juta; 2. Terlapor III US$184 juta; 3. OSG US$ 170 juta. Bahwa dengan demikian Terlapor III menempati posisi tertinggi baik dari sisi harga dan total skor sehingga  dapat dinyatakan sebagai pemenang tender divestasi VLCC (Bukti B20, B29, B32, B42, B47, B52, C155);[12]

Keputusan mengenai pemenang tender yaitu Terlapor III ditegaskan dalam putusan Komisi: “Bahwa Direksi Terlapor I memutuskan menetapkan Terlapor III sebagai pemenang tender divestasi VLCC berdasarkan penawaran ketiga Terlapor III seharga US$ 184 juta untuk 2 (dua) VLCC (Bukti 20, B29, B32, B42, B47, B52, C155)”. Kemudian, “Bahwa pada tanggal 10 Juni 2004, Terlapor II mengirimkan surat kepada Terlapor III melalui Terlapor V  yang pada pokoknya menyatakan bahwa Terlapor III telah ditetapkan sebagai pemenang tender divestasi VLCC (Bukti B1, B5, B11, C201).”

Dari hasil pemeriksaan pendahuluan dan dan pemeriksaan lanjutan maka, “KPPU telah menduga bahwa GS Singapura telah melanggar pasal-pasal berikut:

3.4.1.1. Pasal 16;——————————————————————–

3.4.1.2. Pasal 19, ayat (d); dan;—————————————————

3.4.1.3. Pasal 22;——————————————————————–

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;[13]

Pada Pasal 16                     : Membuat Perjanjian dengan pihak luar negeri[14]

Pada Pasal 19                     : Larangan untuk bekerjasama dengan pelaku usaha

                                              lain[15]

Pada Pasal 22                     : Bersekongkol dengan pihak lain untuk menentukan

                                             pemenang suatu tender[16]

Semua dugaan itu terkait dengan:

  1. Sepanjang  bahwa dugaan pelanggaran berhubungan dengan Surat Penunjukan.
  2. Sepanjang bahwa dugaan pelanggaran tersebut berkaitan dengan setiap hubungan antara GS Singapura dan Frontline dan/atau Equinox.

Dari Pemeriksaan lanjutan KPPU, maka didapatkan hal-hal berikut, penulis menilai hasil pemeriksaan lanjutan ini sesuai dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 merupakan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Persengkongkolan Dalam Tender:

  1. Perjanjian;———————————————————————————–

9.2.1. Bahwa yang dimaksud perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis;———–

9.2.2. Bahwa Terlapor I telah mengikatkan diri terhadap Terlapor II secara tertulis melalui Engagement Letter tertanggal 3 Mei 2004 mengenai pemberian jasa financial advisor dan arranger Divestasi VLCC;———————————

9.2.3. Bahwa Terlapor I telah mengikatkan diri terhadap Terlapor III secara tertulis melalui Sales and Purchase Agreement in relation to Hull No. 1540 dan No 1541 (“Sales and Purchase Agreement”) tertanggal 11 Juni 2004 mengenai  penjualan dan pembelian 2 (dua) unit VLCC;————————————-

9.2.4. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka unsur perjanjian terpenuhi;—

  1. Pihak lain di luar negeri;————————————————————-

9.3.1. Bahwa Terlapor I telah membuat perjanjian Engagement Letter tertanggal 3 Mei 2004 dengan Terlapor II yang berdomisili di Singapura;——————-

9.3.2. Bahwa Terlapor I telah membuat perjanjian Sales and Purchase Agreement tertanggal 11 Juni 2004 dengan Terlapor III yang berdomisili di Bermuda;—

9.3.3. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka  unsur pihak lain  di luar negeri terpenuhi;——————————————————————————-

III. Praktik diskriminasi ————————————————————————

12.4.2. Penerimaan Bid ketiga oleh Terlapor I dan Terlapor II;———————-

12.4.2.1. Bahwa sesuai dengan uraian  pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.41 – 1.3.48 Terlapor I bersama-sama dengan Terlapor II telah menerima bid III dari Terlapor III tanpa memberikan kesempatan yang sama pada Essar dan OSG untuk memasukkan bid III;—————————————–

12.4.3. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka unsur melakukan praktek diskriminasi oleh: (a) Terlapor I dan (b) Terlapor I bersama-sama dengan Terlapor II terpenuhi;-

IV. Praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat———————-

12.6.4. Penerimaan Bid ketiga oleh Terlapor I dan Terlapor II;———————-

12.6.4.1. Bahwa sesuai dengan uraian  pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.27 – 1.3.28 penerimaan bid ketiga dari Terlapor III tidak sesuai dengan ketentuan bid yang telah dikeluarkan oleh Terlapor II sehingga dilakukan secara melawan hukum;-

12.6.4.2. Bahwa Essar dan OSG tidak diberi kesempatan yang sama untuk memasukkan bid ketiga sehingga menghilangkan kesempatan Essar dan OSG  untuk memasukkan penawaran yang lebih tinggi sehingga Terlapor I kehilangan kesempatan untuk memperoleh harga VLCC yang lebih tinggi. 

12.6.4.3. Bahwa dengan demikian tindakan Terlapor I dan Terlapor II secara nyata telah menghambat persaingan;———————-

12.6.5. Bahwa berdasarkan hal tersebut,  maka unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.

      Praktek ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang No 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”-

V. Bersekongkol ———————————————————————————–

15.2.1. Bahwa yang dimaksud persekongkolan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol;——————————————————–

15.2.2. Bahwa pengertian bersekongkol dalam rangka mengatur dan atau menentukan pemenang tender adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan  maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian (concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu;——————————————

15.2.3. Bahwa sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.31 –

1.3.32, sampai dengan tanggal 8 Juni 2004 penawaran Essar adalah penawaran tertinggi dengan total skor peringkat kedua sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh Terlapor III;———

15.2.4. Bahwa Direksi Terlapor I memiliki keraguan untuk memutuskan Terlapor III sebagai pemenang mengingat selisih harga penawaran yang cukup signifikan sebesar US $5,500,000;————————————-

15.2.5. Bahwa kemudian sampai dengan  tanggal 9 Juni 2004 Terlapor V melaporkan melalui e-mail kepada Terlapor III bahwa Terlapor V masih melakukan negosiasi harga dengan Terlapor II sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.4;———————-

15.2.6. Bahwa sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.41 –

1.3.42 Terlapor III melalui Terlapor V kemudian menyerahkan bid ketiga kepada Terlapor II dengan selisih US $500 ribu dari penawaran Essar;—————————–

15.2.7. Bahwa penyerahan bid ketiga tersebut dilakukan di luar batas waktu yang telah ditentukan sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.27;—

15.2.8. Bahwa bid ketiga tersebut  dibuka sendiri oleh Terlapor II di Jakarta, tidak dihadapan Notaris dan tidak di Singapura sebagaimana pembukaan bid-bid sebelumnya sehingga tidak sesuai dengan ketentuan (lihat uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.16 – 1.3.17 dan 1.3.28);———–

15.2.9. Bahwa Terlapor I mengetahui penyerahan bid ketiga Terlapor III namun membiarkan dan tidak mengambil tindakan apapun, walaupun Terlapor I mengetahui bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan prosedur;——-

15.2.10. Bahwa bid ketiga tersebut membuka  peluang bagi Direksi Terlapor I untuk memutuskan Terlapor III sebagai pemenang sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.47;————————————

15.2.11. Bahwa dengan demikian Terlapor II telah memfasilitasi dan Terlapor I telah menyetujui suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu;———————————

15.2.12. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka unsur bersekongkol terpenuhi[17];

VI. Mengatur dan atau menentukan pemenang ———————————————-

15.4.1. Bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor V sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 15.2.3 – 15.2.9 adalah dalam rangka mengatur Terlapor III sebagai pemenang tender Divestasi VLCC;——–

15.4.2. Bahwa berdasarkan hal tersebut,  maka unsur mengatur dan atau menentukan pemenang terpenuhi.

VII. Tender ———————————————————————————————–

15.5.1. Bahwa yang dimaksud tender dalam penjelasan pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk  mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa;——————————————

15.5.2. Bahwa yang dimaksud tawaran mengajukan harga adalah meliputi tawaran untuk pembelian atau tawaran untuk pengadaan suatu barang atau jasa dan tawaran untuk penjualan suatu barang atau jasa.

15.5.3. Bahwa sesuai dengan uraian pada bagian Tentang Hukum angka 1.3.8 –

1.3.9, Terlapor I telah memberikan  kesempatan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengajukan penawaran harga dalam rangka membeli 2 (dua) unit VLCC milik Terlapor I;—-

15.5.4. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka unsur tender terpenuhi.

VIII. Mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat ————————-

15.6.1. Bahwa yang dimaksud persaingan  usaha tidak sehat sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha;———–

15.6.2. Bahwa sesuai dengan uraian pada angka 15.2.3 – 15.2.9 penyerahan bid ketiga dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sendiri oleh Terlapor I dan Terlapor II dan disepakati oleh peserta tender sehingga tindakan penyerahan bid ketiga tersebut telah dilakukan secara melawan hukum;—————————————————

15.6.3. Bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor V telah menghambat secara melawan hukum peserta tender lain sebagai pemenang tender Divestasi VLCC;————-

15.6.4. Bahwa dengan tidak diberinya kesempatan yang sama bagi Essar dan OSG untuk memasukkan bid ketiga  telah menghilangkan kesempatan untuk memperoleh harga VLCC yang lebih tinggi;—————————

15.6.5. Bahwa dengan demikian tindakan-tindakan tersebut telah menghambat

persaingan usaha;——————————————————————

15.6.6. Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka unsur mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.

      Dari semua pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan KPPU berhasil membuat keputusan sebagai berikut, penulis mengutip lengkap semuanya, karena sangat penting untuk bagaimana KPPU melihat proses tender VLCC dan adanya persekongkolan tender yang merupakan praktek persaingan usaha tidak sehat dan melanggar sejumlah Pasal dalam UU No.5/1999. Kutipan keputusan tersebut ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang Majelis Komisi pada Hari Selasa, tanggal 1 Maret 2005 dan dibacakan di muka persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada Hari Kamis, tanggal 3 Maret 2005 oleh Majelis Komisi yang terdiri dari Dr. Pande Radja Silalahi sebagai Ketua Majelis, Dr. Ir. Sutrisno Iwantono, M.A. dan Ir. Tadjuddin Noer Said masing-masing sebagai Anggota Majelis sebagai berikut[18]:

MEMUTUSKAN 

1. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Pertamina (Persero), Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte. dan Terlapor III: Frontline, Ltd. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;——–

2. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Pertamina (Persero) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal penunjukan langsung Terlapor II: Goldman Sachs  (Singapore), Pte. sebagai financial advisor dan arranger;——————————————————–

3. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Pertamina (Persero) dan Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte. terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal penerimaan penawaran (bid) ketiga dari Terlapor III: Frontline, Ltd.; —————

4. Menyatakan bahwa Terlapor IV: PT Corfina Mitrakreasi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;—

5. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Pertamina (Persero), Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte., Terlapor III: Frontline, Ltd. dan Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1999; ——————————

6. Memerintahkan Terlapor I: PT Pertamina (Persero) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini:———————————————————————————

a. untuk melaporkan secara tertulis kepada Rapat Umum Pemegang Saham atas kesalahan yang dilakukan oleh Komisaris Utama dan masing-masing anggota Dewan Komisaris serta Direktur Utama dan masing-masing anggota Direksi yang telah menyetujui penjualan VLCC tanpa seijin Menteri Keuangan RI;—-

b. untuk meminta secara tertulis kepada Rapat Umum Pemegang Saham mengambil tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku terhadap mereka yang disebut pada huruf a;———————————

c. untuk mengumumkan laporan dan permintaan tertulis sesuai dengan huruf a, dan b tersebut di atas, pada 5 (lima) surat kabar berskala nasional dengan ukuran minimal 1/8 (seperdelapan) halaman; ——————————————

7. Memerintahkan Terlapor I: PT Pertamina (Persero) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini:———————————————————————————

a. untuk melaporkan secara tertulis kepada Rapat Umum Pemegang Saham atas kesalahan yang dilakukan oleh Direktur Utama dan masing-masing anggota Direksi yang telah melakukan persekongkolan dalam penjualan VLCC;———

b. untuk meminta secara tertulis kepada Rapat Umum Pemegang Saham mengambil tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku terhadap mereka yang disebut pada huruf a———————————-

c. untuk mengumumkan laporan dan permintaan tertulis sesuai dengan huruf a, dan b tersebut di atas, pada 5 (lima) surat kabar berskala nasional dengan ukuran minimal 1/8 (seperdelapan) halaman; ——————————————

8. Memerintahkan Terlapor I: PT Pertamina (Persero) paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan ini melarang Direktur Keuangan melakukan semua kegiatan yang terkait dengan transaksi komersial termasuk transaksi keuangan untuk dan atas nama Terlapor I: PT Pertamina (Persero) baik internal maupun eksternal selama Direktur Keuangan dijabat oleh Direktur Keuangan pada saat penjualan 2 (dua)

unit VLCC;——————————————————————————————

9. Menghukum Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore) Pte. membayar denda sebesar Rp 19.710.000.000 (sembilan belas miliar tujuh ratus sepuluh juta Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H.Juanda No 19, Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212;———————————————————–

10. Menghukum Terlapor III: Frontline, Ltd. membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No 19, Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212;——–

11. Menghukum Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox membayar denda sebesar Rp 16.560.000.000 (enam belas miliar lima ratus enam puluh juta Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No 19, Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212;———————————————————-

12. Menghukum Terlapor I: PT. Pertamina (Persero) untuk  tidak melakukan hubungan usaha dalam bentuk apapun dan atau menghentikan hubungan usaha yang telah ada dengan Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte. dan atau Terlapor III: Frontline, Ltd. dan atau Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox selama Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte., Terlapor III: Frontline, Ltd. dan Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox belum membayar denda yang ditetapkan dalam putusan ini;—————————

13. Menghukum masing–masing Terlapor untuk membayar ganti rugi:———-

a. Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebesar Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar Rupiah);—————————————————————-

b. Terlapor III: Frontline, Ltd. sebesar Rp. 120.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar Rupiah);————————————————————————-

kepada Negara Republik Indonesia yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)  Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212.

KESIMPULAN PENULIS.

  1. Keputusan KPPU dalam kasus tender proses penjualan 2 (dua) unit Tanker Very Large Crude Carrier sesuai dengan  Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 yang merupakan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Persengkongkolan Dalam Tender, yang selanjutnya disebut Pedoman, adalah dokumen pedoman  pelaksanaan Pasal 22 terkait dengan Persengkongkolan Dalam Tender.
  2. Dalam kasus tender proses penjualan 2 (dua) unit Tanker Very Large Crude Carrier terlihat kesesuaian dengan dugaan KPPU dalam guidelines tender berdasarkan pasal 22 UUNo.5/1999, yaitu identifikasi indikasi persekongkolan, terbukti ada persekongkolan tender pada saat Penawaran, Evaluasi dan Penetapan pemenang tender, dan Pengumuman pemenang tender.
  3. Pelanggaran oleh pihak PT Pertamina (Persero) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal penunjukan langsung Terlapor II: Goldman Sachs  (Singapore), Pte. sebagai financial advisor dan arranger.
  4. Juga terbukti bahwa PT Pertamina (Persero) dan Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte. terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 19 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal penerimaan penawaran (bid) ketiga dari Terlapor III: Frontline, Ltd.
  5. Juga terbukti bahwa PT Pertamina (Persero), Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte., Terlapor III: Frontline, Ltd. dan Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1999.
  6. Menghukum Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore) Pte. membayar denda sebesar Rp 19.710.000.000 (sembilan belas miliar tujuh ratus sepuluh juta Rupiah).
  7. Menghukum Terlapor III: Frontline, Ltd. membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar Rupiah).
  8. Menghukum Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox membayar denda sebesar Rp 16.560.000.000 (enam belas miliar lima ratus enam puluh juta Rupiah.
  9. Menghukum Terlapor I: PT. Pertamina (Persero) untuk  tidak melakukan hubungan usaha dalam bentuk apapun dan atau menghentikan hubungan usaha yang telah ada dengan Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte. dan atau Terlapor III: Frontline, Ltd. dan atau Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox selama Terlapor II: Goldman Sachs (Singapore), Pte., Terlapor III: Frontline, Ltd. dan Terlapor V: PT Perusahaan Pelayaran Equinox belum membayar denda yang ditetapkan.
  10. Menghukum masing–masing Terlapor untuk membayar ganti rugi: Terlapor II,  Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebesar Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar Rupiah.
  11. Menghukum masing–masing Terlapor untuk membayar ganti rugi: Terlapor III, Frontline, Ltd. sebesar Rp. 120.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar Rupiah).
  1. 2.    Analisis mengenai pengertian rahasia perusahaan (Pasal 23 UU No.55/1999) diartikan secara luas/sempit dalam kasus IMI dengan Aquarius masalah lagu-lagu Dewa 19.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada:

Bagian Keempat

 Tentang Persekongkolan

Pasal 23

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan

informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia

perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat. [19]

Adapun Penjelasan Pasal 23 tersebut adalah:

  1. Cukup jelas.[20]
  1. Kemudian Unsur Pasal 23 tersebut adalah :
    1. Pelaku usaha
    2. Bersekongkol
    3. Pihak lain
    4. Mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifisakan sebagai rahasia perusahaan.
    5. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Mengenai rahasia dagang, diatur secara tersendiri dan tidak dimasukkan dalam UU No.5 Tahun 1999. Dewasa ini pengaturannya dapat dijumoai dalam UU Nomor 30 tahun 2000 tentang rahasia Dagang. Nah, dalam Undang-undang No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, 20 Desember 2000, Pasal 1 ayat (1) berbunyi:

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

`Kemudian Surat Keputusan KPPU No.57/KPPU/Kep/III/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan UU No.5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual  menjelaskan bahwa lingkup perlindungan berdasarkan hak kekayaan intelektual.

Jadi  dapat kita simbulkan bahwa: 1. Bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang; 2. Bahwa istilah “merek dagang” hendaknya dimaknai sebagai merek yang mencakup merek dagang dan meek jasa; 3. Bahwa istilah ‘rangkaian elektronik terpadu’ hendaknya dimaknai sebagai desain tata letak sirkuit terpadu.

Keberadaan rezim hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Hukum Persaingan Usaha hendaknya dipandang sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Kesamaan yang dimiliki oleh kedua rezim hukum tersebut diantaranya ialah pada tujuannya yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.[21]

Apakah sebenarnya rahasia perusahaan itu dalam praktik? Mari kita kita lihatkasus IMI dengan Aquarius masalah lagu-lagu Dewa 19, dalam Putusan Perkara Nomor: 19/KPPU-L/2007. Kembali menurut A.M.Tri Anggraini[22] adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menganalisa adanya persekongkolan dalam hal rahasia perusahaan dalam UU No. 5/1999, persekongkolan dinyatakan sebagai rule of reason, yaitu bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat. Kemudian untuk itu dalam persekongkolan dalam hal rahasia perusahaan, perlu diketahui : apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.  Berikut adalah ringkasa perkara tersebut

PUTUSAN PERKARA NO.  19/KPPU-L/2007 PENGUASAAN PASAR DAN

PERSEKONGKOLAN EMI MUSIC SOUTH EAST ASIA,  EMI INDONESIA,  ARNEL

AFFANDY, S.H, DEWA 19, DAN IWAN SASTRAWIjAYA[23]

Dugaan pelanggaran pada perkara ini dilakukan oleh EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandy, S.H (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV), dan Iwan Sastrawijaya (Terlapor V). Perkara ini adalah perkara persaingan usaha yang terkait dengan pembayaran ganti rugi serta persekongkolan dalam hal rahasia perusahaan.  Berdasarkan hukum maka jika pelaku usaha yang bersangkutan mengajukan ganti rugi, maka identitas Pelapor dalam perkara ini tidak dirahasiakan oleh Majelis Komisi.  Identitas pelapor, yaitu PT Aquarius Musikindo diperlukan sebagai keterangan yang cukup jelas kepada siapa para Terlapor akan membayar ganti rugi. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (LHPL) dan tanggapan/pembelaan dari para Terlapor tersebut, pada tanggal 25 Apri 2008 Majelis Komisi melakukan musyawarah dan memutuskan perkara ini dalam amar sebagai berikut:

1. Menyatakan EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandi, S.H. (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV) dan Iwan Sastra Wijaya (Terlapor V) secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar ketentuan Pasal 23 Undang-undang Nomor 5/1999;

2. Memerintahkan Arnel Affandi, S.H. (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV) dan Iwan Sastra Wijaya (Terlapor V) untuk tidak lagi melakukan persekongkolan dalam bentuk pembocoran informasi rahasia perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat;

3. Menetapkan EMI Music South East Asia (Terlapor I) dan PT EMI Indonesia (Terlapor II) untuk membayar ganti rugi kepada PT Aquarius Musikindo sebesar Rp3.814.749.520,00 (tiga milyar delapan ratus empat belas juta tujuh ratus empat puluh sembilan ribu lima ratus dua puluh rupiah);

4. Menghukum EMI Music South East Asia (Terlapor I) dan PT EMI Indonesia (Terlapor II) untuk membayar denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan  kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).

Dalam kasus ini KPPU menegaskan bahwa EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandi, S.H. (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV) dan Iwan Sastra Wijaya (Terlapor V) secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar ketentuan Pasal 23. Seperti yang penulis pelajari di atas secara tegas Pasal 23 ini mengatakan bahwa, “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasiaperusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Kemudian KPPU juga berhasil membuktikan Unsur dari Pasal 23 tersebut adalah :1. Pelaku usaha; 2. Bersekongkol; Pihak lain; 4. Mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifisakan sebagai rahasia perusahaan; Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Persekongkolan yang menurut putusan KPPU terpenuhi terkait dengan definisi Pasal 1 ayat 8: “Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.” Dalam putusan KPPU ini pihak yang bersekongkol adalah EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandi, S.H. (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV) dan Iwan Sastra Wijaya (Terlapor V). Dalam hal Dewa 19 KPPU menyatakan, “Bahwa Majelis Komisi menyimpulkan Dewa 19 (Terlapor IV) terlibat dalam persekongkolan.” Bahwa dengan demikian unsure bersekongkol terpenuhi.

Kemudian dengan tegas pula KPPU menyatakan dalam pertimbangan hukumnya:

  1. Tentang unsur kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan:
    1. Bahwa informasi perusahaan yang bersifat rahasia adalah informasi yang mempunyai nilai ekonomis yang harus dijaga kerahasiaannya dari pihak-pihak di luar perjanjian.
    2. Bahwa Majelis Komisi menyimpulkan dalam perkara a quo informasi perusahaan yang bersifat rahasia dalam perjanjian antara Dewa 19 (Terlapor IV) dengan PT Aquarius Musikindo antara lain advance, royalty, time frame, option dan penalty.
    3. Bahwa dengan demikian unsur informasi kegiatan usaha pesaingnya yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan terpenuhi.[24]

KESIMPULAN PENULIS:

  1. Rahasia perusahaan dalam arti luas Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, 20 Desember 2000 disebutkan, “Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
  2. Rahasia perusahaan dalam arti sempit bercermin dari Putusan Perkara Nomor: 19/KPPU-L/2007 maka disebutkan bahwa, “Informasi perusahaan yang bersifat rahasia adalah informasi yang mempunyai nilai ekonomis yang harus dijaga kerahasiaannya dari pihak-pihak di luar perjanjian.”
  3. Selain adanya unsurr rahasia perusahaan Putusan Perkara Nomor: 19/KPPU-L/2007 ini berhasil membuktikan adanya persekongkolan dalam hal rahasia perusahaan. Para pihak yang terlibat persekongkolan adalan adalah EMI Music South East Asia (Terlapor I), PT EMI Indonesia (Terlapor II), Arnel Affandi, S.H. (Terlapor III), Dewa 19 (Terlapor IV) dan Iwan Sastra Wijaya (Terlapor V).
  4. Setelah membuktikan adanya rahasia perusahaan dan adanya persekongkolan dari sejumlah pihak, maka KPPU menetapkan menetapkan EMI Music South East Asia (Terlapor I) dan PT EMI Indonesia (Terlapor II) untuk membayar ganti rugi kepada PT Aquarius Musikindo sebesar Rp3.814.749.520,00. Ganti rugi ini sesuai dengan tuntutan PT Aquarius Musikindo pihak yang dirugikan.
  5. Selain itu KPPU juga menghukum EMI Music South East Asia (Terlapor I) dan PT EMI Indonesia (Terlapor II) untuk membayar denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha.

[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor % Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Diakses dari www.kppu.go.id tanggal 18 April 2012.

[2] ibid

[3] Lihat Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010. Diakses dari www.kppu.go.id tanggal 18 April 2012.

[4] Anggraini, A.M.Tri, “Bahan Kuliah Larangan Persekongkolan Tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999”, FHUI, April 2012.

[5] ibid.

[6] PUTUSAN Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2004, Diakses dari www.kppu.go.id tanggal 18 April 2012, hlm.1.

[7] Ibid, hlm.2.

[8] Ibid. hlm.2.

[9] Ibid, hlm. 16.

[10] Ibid, hlm.  64.

[11] Ibid., hlm.69.

[12] Ibid, hlm. 69.

[13] Ibid., hlm. 94.

[14] Ibid., hlm. 94.

[15] Ibid., hlm.96.

[16] Ibid.,hlm. 101.

[17] Ibid., hlm. 119-120.

[18] Ibid., hlm. 124-127.

[19] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor % Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Diakses dari www.kppu.go.id tanggal 18 April 2012.

[20] ibid

[21] Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: NLRP, 2010), hlm.106-108.

[22] Anggraini, A.M.Tri, “Bahan Kuliah Larangan Persekongkolan Tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999”, FHUI, April 2012.

[23] Katalog Putusan KPPU Periode 2000 – September 2009, diakses dari www.kppu.go.id tanggal 18 April 2012.

[24] Putusan Perkara Nomor: 19/KPPU-L/2007, hlm. 49. Diakses dari www.kppu.go.id tanggal 18 April 2012.

Criticism and Freedom Must Be Defended

The absence of healthy public space to discuss has created plenty
of mutilation of ideas in this country. This condition also close
the many opportunities to find social norms for common lives.
Consequently, there are many misunderstanding between groups
and violent actions that emerge. That was the conversation between
Novriantoni of Liberal Islam Network (Jaringan Islam Liberal, JIL) with
M. Fadjroel Rachman, Chair of Working Committee of Indonesian
Socialist Society, last Thursday (2/15).
NOVRIANTONI (JIL): Bung Fadjroel, you are often called a
socialist. What does that mean?
M. FADJROEL RACHMAN: I make a distinction between a
socialist and a communist. Usually I would say that a socialist is still
willing to go to mosque, church, or other worship places. There are
even those who did pilgrimage to Mecca such as Soedjatmoko, the
famous Indonesian intellectual. This means, they still try to be
religious. Because, socialism is actually a flag with several streams of
thinking. The conclusion point is that socialism is understood as
’value, idea, and struggle to free human being from exploitation,
repression, domination, and humiliation of human by other human.’
There are also those basing the idea to religion and for that reason is
called religious-socialism. They do not at all know the ideas of
Marxism. For them, in religion itself there are ideas of justice that
must be implemented in life, the interesting example is H.O.S
Tjokroaminoto in Sosialisme dan Islam. Meanwhile, Mohammad Hatta,

former first Vice President of Republic of Indonesia, tried to develop
Indonesian socialism by combining Islam, genuine democracy, and
Marxist analysis on capitalism, colonialism, and imperialism.
But there is also democracy-socialism that bases itself on
democracy and almost say that socialism is capitalism plus political
regulation. There are also those who call themselves socialist-
libertarian who fights for individual rights and social rights of society
in parallel way. There is also Marxist-socialism that is non-communist.
They take the ideas of Marxist but do not acknowledge several of its
doctrinal aspects, such as proletariat dictatorship and class war. There
is also populist socialism that was developed by Sutan Sjahrir, which
uses Marxism critically and put more emphasis on values of humanity
and populism. See his book Sosialisme dan Marxisme: Suatu Kritik
Terhadap Marxisme (1967).
JIL: As a socialist, how do you know religion?
Thank God I have quite strong root of religiosity that dialectically
develop my personal life. First, NU traditional root. I like its idea of
aculturation with culture. Second, modernism of Muhamadiyah is
also interesting because it brings the idea of social alms in its spirit of

when I was a student. Mohammad Iqbal says, only in your anxiety

you will know yourself. I also follow Iqbal when he said that it is in
anxiety and tense of that search, human creativity would “reach”
God’s creativity.
At one point I had the thought that knowledge or science may
be used as the basis of religion. But I eventually understand that
knowledge and science is just providing a method, just like mentioned
by British philosopher, Karl Popper, on problem solving methodology.
Eventually science only provides method and problem solution that
are tentative, hypothetical, and fallible (could be wrong); and therefore
it cannot be used as the basis of faith.
But that does not mean that knowledge or science is the
antithesis of religion. Knowledge and religion have their own methods
in solving problems. Religion actually also cannot take over the
position of science. In my opinion, religion is like a quantum leap of
conscience to faith. In this era, it is hard to imagine if someone
suddenly says, “I will slaughter my son because God told me to!”
like Prophet Ibrahim did to Ismail his son.
Everyone may say that that is crazy and has no common sense.
Such case is an example of leap of faith over conscience. I thin, science
cannot provide that basis. Hence religion and science are two different
things. But religion still provides motivation, such as the effort to
revitalize principles of justice, humanity and solidarity. Such
motivation gives birth to what is called theological humanism that is
based on religion.
But scientific rational thinking could also produce humanism-
secular ideas that to me is not at all contradictory with religion. The
two moves on the basis of the same desire to develop human
solidarity; wanting to live with others or exist with others, without
relations of exploitation, repression, domination or humiliation.
JIL: So socialism and religious doctrin on justice could meet?
It can, although religious leaders always ask: what is your
foundation? But all of those could be answered in a simple way.
Friends who are religious leaders may say that the foundation is from
God, in the form of enlightenment or prophet’s saying and behavior.
From there, spirit of justice grows. But secular-humanis group bases

religion and modernism. And thirs, three generations of my country

are fortunately living in the spirit of scientific rationalism of the West.
Thus, I live in three pillars or the dialectical elements. Those are what
actually shape me. Hence I am not very allienated from religion.
JIL: Does scientific rationalism push you to not have any
organizational affiliation to NU or Muhamadiyah?
Apparently yes. But in my family there are always those who
follow directly one of those mass organizations. But I am truly never
involved in the organizations of NU or Muhamadiyah. When I was a
student at ITB, I took pure chemistry as my major (science). I am
more enticed to the idea of rationalism that pushes criticism,
individualism, dialectic, and materialism. Religion for me is
motivation from actions. I cannot get out from that point, and may
be that is the one that benefits me as an individual in social life.
When I was a student, I once were between the tension of
scientific rationalism and religious doctrine. Even until today I am
still under that tension, certainly with a different understanding than

its idea on the existence of others; because I am present with other
people. Therefore, norms or humanistic values develop. Or, I cannot
know who I am if others do not react to me.
The lightest example is when you stare at me, I may ask, “What
is wrong with me that he stares at me in such a way?” Thus, the
foundation is the desire to exist with other people, which generates
norms and values of justice and humanity.
JIL: You grown in the spirit of scientific rational spirit. Are
you ever tempted to conduct spiritual search?
I did ever think if science could be my basis to believe in God.
But I am finally convinced that that is not possible because science is
tentative, hypothetical, and fallible (could be wrong). When someone
creates big bang theory as one of the basis of religious belief, I think
he is wrong and have taken a shaky foundation. Because in science,
aside from big bang theory, there are other theories too. And who
knows, in time the theory will be gone and replaced by new theory.
Read the thin book of Stephen Hawking A Brief History of Time, on
the most recent physics and universe theories.
The case is just as dangerous with scientific interpretation of
religion. Ptolomeus once said that earth is the center of the universe
and his thesis was adopted by Church. When Copernicus said that it
was the sun that was circled by the earth, according to his research
finding, the Church still hold on to the old dogma. Consequently,
people like Galileo Galilei must be punished with home jail for life,
and Giordano Bruno was burned for his belief.
Therefore, in that searching process, I found that faith is faith,
and science is science. To me, all people cannot be a total atheist. For
a scientist, to prove that God does not exist is just as difficult as proving
that God exists. Therefore, there is a big problem if scientific logics or
mathematical logics are applied to religion. For instance, in science,
there is always people who want to say that physics and chemistry
findings prove God’s existence. Others say that everything is already
said in Koran or other religions’ holy bible.
But now, NASA send its mission to Pluto to examine its universe
evolution. If suddenly there is found something different from what
is followed by relition, what would religion say? The big problem in

religion logic is tautology trap; feeling that it never has the possibility
of being wrong.
JIL: Bung Fadjroel, there are those arguing that socialism is
religion in broader meaning, while religion is socialism in narrower
meaning. What is your take on this?
We shall return to the definition. Socius means friend or buddy
in Latin. What is wanted by the socialists is the concept of homo homini
socius, human is friend for other human. This is in contradiction with
the concept of homo homini lupus, or human as wolf for other human.
This means, what is searched by socialist movement is values that
exist in common human lives, one that could be used as common
basis of action in handling social, political and economic problems.
The proper term is values-centered socialism. The values are
justice, humanity, populism, freedom, solidarity, welfare, and
equality. Those are values that also could grow from various religions,
and even from people without religious beliefs. But all acknowledge
those values as the basis of common lives. Because without those
values, we are expected to kill one another.
JIL: But why do socialists do not always have a good term
with religious leaders?
They are actually not contradictory. At least, that is what happen
to me. I am pleased to be invited by friends who are religious activits,
such as PKS, KAMMI, HMI, PMII, and other religions such as
Buddhist and Catholic. I participate in their training and has no
problem at all. But during New Order period, there was a
misunderstanding that equates socialism with communism, while
socialism is different from communism.
Socialism is rooted further in the scientific-socialism teaching
of Karl Marx. Actually, the main root is religion. When religion came,
he stroke injustices. When Islam came, he condemned slavery, killings
of women, and others. That is actually also part of socialism. Ibrahim’s
religions acknowledge that human is equal before God. That is actually
also the main basis of socialism teaching.
JIL: If one is rooted in socialism, why still need socialism?
Perhaps the answer is this. God is indeed the source of truth,
but the problem is, in the process of searching the truth, religions

have many interpretations. Those interpretations plus histories of
religions that are no less complicated. When talking about history, in
Islam itself, the first three caliphs were killed by their opponents.
Even Imam Husein, the grandchild of Prophet, with his 70 followers
were killed by 30,000 followers of Yazid bin Mu’awiyah in Karbala,
Iraq today. His head was cut, kicked, spitted, and carried publicly to
Yazid palace. Which means, in the history of religion itself, violent
element is present since its beginning.
Well, the problem is, which interpretation of truth that we will
follow? In Sunni Islam, there are several versions and streams, in
Shiite Islam too there are various version and streams. I mean, the
interpretation of a group of people about religion and the truth of
religion must indeed be separated. Therefore, socialist group as mine
also attempt to find formula so that religious groups or non-religions
groups could live on the basis of common values. The basis of values
we can just take from motivation of religion, humanism spirit,
philosophy, culture, or whatever that could tie our lives together in a
just and human way.
That way we could exist together, live together. We can respect
one another and develop common values and norms of life. That is
what being taught in the open society concept of Karl Popper. Through
open society, individuals choose and are responsible for their freedom,
with that way human becomes themselves, creating themselves. But
problems still exist, every individual could certainly absolutize its
interpretation on God, religion and truth. If it was the dominant
authority who does this, then there would be inquisition like that in
the Middle Ages. Therefore, what we reject is absolute interpretation
of knowledge or religion. I reject absolute interpretation of the two. I
imagine every human being is given freedom to create herself in one
open historical space. Human create their own history and future.
There is end (endism) that is predetermined arbitrarily, even by
science.
JIL: Bung Fadjroel, there is a grand reduction of the meaning
of socialism and communism. For instance the perception that
socialism and communism is anti God and anti religion. Why do
these happen?

The socialists always say that communist people robbed the
values of socialism. Their excuse, in Marx’ book of Communist
Manifesto, is clear that there is socialism that is rooted in philosopy,
culture, humanism, even religion, way before scientific socialism
exists. Marx undermined Christian Socialism and German Socialism,
for instance, and condemned Proudhon, Saint-Simon, Fourier, and
Robert Owen. Well, if we want that understanding, actually we are
rooted far into that direction. But the communists always say that
there is one and only valid socialism idea is communism or scientific
socialism, which is actually pseudo-scientific. The product is 70 years
of Soviet Union regime with victims of 60 million people dead. Read
the crazyness of that communist regime in Solzhenitsyn’s Gulag
Archipelago.
This may be similar to what happen today to Islam. Suddenly
there are many people stunned because Islam is equalized with Al
Qaeda. Suddenly people were shocked. That is the same with the
astonishment of the Christians when charismatic group was seen as
the only face of Indonesian Christianity. Certainly the Catholics also
reject Cesare Borgia, former cardinal, figure of Machiavelli’s Il Principe
that wa brutal and barbaric, son of Pope Alexander VI as the face of
Catholic people. So there, there is mutilation of ideas. In Indonesia, it
happens because in New Order period all that is socialist, communist,
even liberalist were strongly challenged. Not even under New Order,
until today Liberal Islam Network is totally opposed.
This means, we indeed never have healthy public space to
discuss an idea?
True. Therefore the biggest idea of struggle of socialist
movement is securing civil rights. In principal, civil, political,
economic, social and cultural rights must be fully secured and fought
for. If there is any groups that is surrounded by mass, such as Liberal
Islam Network that was surrounded by Islam Defender Front (Front
Pembela Islam), for reasons osf different thinking, then they must be
defended because to think and have opinion are rights. This has
nothing to do with dogmatism, because some socialists do not care
anymore with Marx. The socialists only say, we fight for the civil and

political rights of every individual. If members of Ahmadiyah were
chased because of their belief, they must be defenced because to adopt
one belief is a right.
Regardless if this belief is considered deviant by the majority?
Yes. Because it is with freedom that people could create
themselves; human could become human. At this point we ask: what
is the meaning of freedom? That is the possibility to doubt, make
mistake, and conduct exploratory process or experimentation, also
the possibility to say no to whatever authority that halts, be it political,
social, religion, philosophy, esthetic autorities, or others. In such climat
of freedom, there is always the opportunity to make mistakes. Human
has the potential of truth and mistake at the same time. And they are
free to be tested in their fallibility. In the frame of knowledge, that is
called the possibility to do falsification. Because it is through process
of error ellimination that life could develop, which means people
learn from mistakes. And at that point also civil, political, economic,
social and cultural rights could develop.
JIL: What is the stand of the socialists on violence because of
differrent religious beliefs?
The socialists oppose this, because the perpetrators are
challenging and taking away other people’s civil and political rights.
The one who is right is God, while human only provides interpretation
of truth. Therefore the statements of people who misled certain
religious groups should never exist if we rely on civil rights to hold
certain belief. The right to freely voice opinion, meet and associate,
must be protected, because that is our way to exist together.
That is the norms that are achieved by human and allowed by
religion. If God is willing, all people could hold a uniform Islam, or
become one Christian. Yet there is still diversity. Indeed in diversity
there is dialog, and in healthy dialog will grow what we call truth. It
cannot be that somebody calls himself the rightest. Therefore, we
always need public space or democracy space where dialog could be
executed in healthy ways while respecting other’s civil rights. The
biggest enemy of knowledge is dogmatism, while the biggest enemy
of democracy is authoritarianism and totalitarianism.

JIL: What kind of state could be expected to accomodate many
groups and streams peacefully?
Socialism always take democracy route. That democracy route
means the protection of civil, political, economic, social and cultural
rights of every group. Meanwhile the communists try to take over
the state to enact dictatorship; and that is what opposed by the
socialists. For them, there need to be one ruling class (the proletariat),
while differences beyond the aspiration of ruling group are stopped
and muzzled. The end point is totalitarianism. For the socialists,
socialism without democracy means dictatorship, and in return,
democracy without socialism means injustices.
Religion actually also has big potential to become totalitarian,
especially when it interprets things absolutely. The same with
socialism. Thus all teachings, be it secular or non-secular, have the
potential to become totalitarian and kill people. Just like what Hannah
Arendt said in The Origins of Totalitarianism that every ideology has
totalitarian element and will develop fully if there is a totalitarian
movement that supports it.
Therefore, what we underline is: every religion or stream of
thinking must continue to defend the climate of criticism and freedom.
Freedom there means that we can still make mistake and learn from
mistake. There is nothing absolute from products of human thinking.
The one who is right is just God. The absence of monopoly of truth
requires us to continue to defend democracy space.

Link: http://www.fes.or.id/fes/download/1206525556.pdf

 

Pidato Fadjroel Rachman di Mahkamah Konstitusi: MEMBELA KEBEBASAN DAN DEMOKRASI MELAWAN SENSOR DAN INDOKTRINASI

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati,

Inkuisitor, penjaga nilai moral dan agama Katolik di Abad Pertengahan, membakar Giurdano Bruno di tiang salib karena mempercayai pengetahuan yang teramat sederhana bagi manusia abad XXI : matahari adalah pusat tata surya, dan bumi mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Galileo Galilei, fisikawan termashur pendahulu Issac Newton, Albert Einstein dan Stephen Hawking, sedikit lebih beruntung, hanya dihukum Inkuisitor tahanan rumah seumur hidup. Revolusi Copernicus yang dibela Giurdano Bruno dan dikembangkan Galileo Galilei itulah yang mendorong dan mengukuhkan kemajuan pada manusia, peradaban dan ilmu pengetahuan. Umat manusia di bumi manusia memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengorbanan kedua pahlawan ilmu pengetahuan tersebut, termasuk kita semua yang hadir dalam sidang Mahkamah Konstitusi yang terhormat ini. Apakah yang dikenang manusia dari para Inkuisitor? Hanya ini tuan-tuan dan puan-puan: Kebodohan, kebarbaran, keserbamutlakan, ketertutupan, dan anti kemajuan kemanusiaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati,

Apakah kita, setelah 62 tahun merdeka dan hidup di abad XXI, masih hidup di abad Pertengahan dan berhadapan dengan para Inkuisitor yang percaya bahwa sensor dan indoktrinasi menyelamatkan umat manusia dan meninggikan peradaban? Inilah pengalaman saya dan generasi saya ketika berhadapan dengan rezim totaliter Soeharto-Orde Baru. Saya ingin mengambil dua contoh terburuk dengan kerusakan moral, psikologis dan intelektual terburuk bagi generasi saya ketika sensor atau pelarangan dan indoktrinasi ideologi dilakukan rezim totaliter Soeharto-Orde Baru.
Pertama, indoktrinasi ideologi Pancasila yang secara massal dilakukan terhadap seluruh lapisan masyarakat. Hanya ada satu tafsir tunggal terhadap Pancasila, tafsir lain harus disensor dan dijauhkan dari kemungkinan ada dalam benak setiap manusia Indonesia, tanpa alternatif. Agar tafsir tersebut tercetak seperti beton di dalam pikiran manusia Indonesia, maka dilakukan program massal indoktrinasi melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), tentu dilengkapi lagi dengan propaganda tentang musuh utama ideologi Pancasila, melalui film Pengkhianatan G30S/PKI yang menjadi tontonan wajib untuk seluruh masyarakat dan diputar berulang setiap tahun melalui layar televisi bertepatan dengan tanggal 30 September. Paduan genial sensor dan indoktrinasi tersebut membuat generasi saya menghancurkan kualitas intelektual dan moralitas, menutup pintu kebebasan berpikir untuk mengembangkan alternatif pemikiran, dan percaya bahwa siapapun yang berpendapat, berkeyakinan atau berideologi lain, sangat pantas dilenyapkan, di penjara, disiksa atau bahkan dibunuh dengan cara apapun. 
Kualitas moral dan intelektual terburuk yang diinternalisasi oleh sensor dan indoktrinasi rezim totaliter Soeharto-Orde Baru terjadi pada saya sendiri. Pertamakali bertemu dengan Pramudya Ananta Toer, pengarang terkemuka yang berkali-kali menjadi nominee Nobel Kesusastraan, membuat saya demikian ragu-ragu dan takut untuk bersalaman, padahal Reformasi 1998 baru saja selesai, dimana Soeharto dan Orde Baru berhasil digulingkan, dan saya berpartisipasi aktif dalam proses pendudukan DPR/MPR sebagai Presidium Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum Wacana) Universitas Indonesia. Di ITB, pada Lima Agustus 1989, kami para mahasiswa yang percaya bahwa lembaga pendidikan merupakan lembaga ilmiah, terbuka, dan kritis, menolak secara tegas proses sensor dan indoktrinasi dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tersebut. Akibatnya kami diculik oleh aparat militer Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas), ditahan dipenjara militer selama setahun tanpa pengacara, tak boleh bertemu keluarga, sebelum di sidang secara tidak adil, divonis tiga tahun, termasuk dibuang ke Penjara Pulau Nusakambangan dan berakhir di Penjara Sukamiskin.
Kedua, sensor atau pelarangan terhadap karya-karya Pramudya Ananta Toer, termasuk tetralogi Pulau Buru, dengan alasan karya-karya tersebut bertentangan dengan ideologi Pancasila dan akan menjerumuskan pembacanya menjadi penganut komunis. Menjadikan generasi saya kehilangan sumber informasi penting untuk perkembangan intelektual dan pemahaman sejarah bangsa dengan cara pandang yang berbeda daripada cara pandang resmi rezim totaliter Soeharto-Orde Baru. Secara sembunyi-sembunyi, kami dengan rakus membaca karya-karya Pramudya secara kritis, dan hingga hari ini tidak pernah menganut ajaran komunisme, dan tidak tertarik menjadi pengikut komunis, alih-alih percaya komunisme, saya malah semakin meyakini bahwa jantung demokrasi adalah kebebasan dan rasionalitas. Pelarangan terhadap karya Pramudya bahkan berlangsung hingga hari ini, tak pernah dicabut oleh Kejaksaan. Bahkan eksepsi saya dan kawan-kawan di pengadilan mahasiswa Indonesia di Bandung pada 1990 termasuk bahan bacaan terlarang oleh Kejaksaan hingga hari ini. Padahal apa yang saya sampaikan di depan majelis hakim Mahkamah Konstitusi tak jauh berbeda daripada isi eksepsi pada tahun 1990 yaitu membela kebebasan dan demokrasi, khususnya hak sipil dan politik.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati,

Sekali lagi saya tegaskan, kenapa saya menolak sensor dan indoktrinasi. Sensor dan indoktrinasi teramat jelas, melalui dua kasus di atas, merusak kualitas moral dan intelektual manusia bebas yang menjadi sasarannya. Saya yakin kerusakan tersebut masih membekas pada generasi saya, sebagian besar masih hidup dengan ketakutan dan keragu-raguan menerima hak sipil yang menjamin kebebasan dan perbedaan ideologi, iman, ataupun keyakinan yang berbeda, Padahal hanya dengan kebebasan, pilihan rasional bisa dibuat oleh setiap manusia, kemudian dengan pilihan rasional tersebut akan muncul tanggung-jawab individual. Tanpa kebebasan, tidak ada pilihan, tanpa pilihan tidak tanggung-jawab. Tanpa kebebasan, tanpa pilihan, tidak ada surga dan neraka. 
Bahkan Sidharta Gautama pun tidak akan ada dan tidak akan memperoleh pencerahan, bila sensor dan indoktrinasi dari orangtua dan pemimpin agama lama, tetap dipatuhi dalam istana mewah berkecukupan, tanpa penderitaan dan tanpa bersentuhan dengan dunia. Peniadaan sensor dan indoktrinasi adalah sumber penyelamatan dan pencerahan manusia.Ilmu pengetahuan pun terhambat oleh perilaku barbar para Inkuisitor terhadap Giurdano Bruno dan Galileo Galilei. Kedatangan Issac Newton harus tertunda berabad-abad karena sensor dan indoktrinasi. Demokrasi di Indonesia pun terhambat puluhan tahun karena sensor dan indoktrinasi rezim totaliter Soeharto-Orde Baru. Ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan peradaban saya yakin hanya bisa berkembang secara progresif bila kita meniadakan sensor dan indoktrinasi, dan melepaskan setiap manusia Indonesia untuk hidup dalam kebebasan, menentukan pilihan rasional sendiri, lalu bertanggungjawab terhadap pilihan rasional tersebut. Sembari tetap berada dalam ketegangan dialektis, bahwa setiap pilihan rasional harus tunduk pada evaluasi kritis dan falsifikasi. Guru saya adalah Karl Raimund Popper, filsuf yang mengajari metodologi pemecahan kritis, evaluasi kritis, falsifikasi dan masyarakat terbuka. 
Bacalah The Open Society and Its Enemies dan Logic of Scientific Discovery, yang mengajarkan kritisisme, dan masyarakat terbuka adalah ciri masyarakat demokratis dan prasyarat kemajuan ilmu pengetahuan, bukan sensor, indoktrinasi dan masyarakat tertutup. Tak ada yang absolut di muka bumi ini, setiap orang adalah pencari kebenaran. Untuk itulah diperlukan sebuah masyarakat terbuka yang dapat dikritik terus menerus, di mana informasi apapun dapat ditemukan tanpa sensor dan pilihan tak dibatasi melalui indoktrinasi. Untuk itulah saya hadir disini mendukung sepenuh hati upaya mengembalikan hak konstitusional dan hak demokratis setiap warganegara Indonesia yang dijamin melalui pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Saya pun bersedia membela kebebasan dan hak demokratis ini seperti teladan Giurdano Bruno dan Galileo Galilei.
Apakah saya menganut kebebasan tanpa batas? Tidak, samasekali tidak, kebebasan saya dibatasi kebebasan orang lain, tidak masuk dalam kebebasan saya untuk melakukan tindakan kriminal, misalnya mencabut hak hidup orang lain termasuk melaksanakan hukuman mati atas nama Negara. Percayalah, saya tidak akan meletakkan bom di depan sidang Mahkamah Konstitusi terhormat ini, atau meletakkan bom di bawah meja anak-anak berusia tujuh tahun di Pantai Kuta Bali yang sedang bersantap dengan ayah ibunya. Perbuatan kriminal bukanlah kebebasan! 
Dua orang putera saya, Mahatma Yudhistira Kusuma Putera (11) dan Krishna Satyagraha Kusuma Putera(9) adalah dua manusia Indonesia bersama puluhan juta anak-anak segenerasinya yang akan menghadapi dunia baru yang memerlukan pengalaman baru, dan pikiran baru. Pikiran usang, kolot, bobrok tak akan membuat mereka mampu menghadapi dunia baru. Perlukah sensor dan indoktrinasi buat Mahatma dan Krishna? 100% tidak perlu, yang diperlukan mereka adalah kebebasan, pilihan, dan tanggungjawab yang sesuai dengan usia perkembangan mereka, bukan sensor dan indoktrinasi. Bila ada sebentuk informasi atau film (layar lebar, televisi, buku, dan lainnya) dihadapan mereka, lakukanlah klasifikasi informasi apapun yang disesuaikan dengan usia perkembangannya. Hingga suatu hari nanti ketika mereka dewasa dapat sebebasnya memperoleh informasi apapun, tanpa ketakutan. Agar ketika memilih sesuatu untuk hidup mereka, semua informasi tersedia, sehingga pilihan rasional menjadi pilihan optimal, dan tanggungjawab yang dipikul pun menjadi optimal. Kita memerlukan anak-anak, pemuda, orang dewasa, dan warganegara yang bertanggungjawab. Tetapi tanpa kebebasan dan pilihan, hanya sensor dan indoktrinasi, maka tak ada tanggungjawab. Kita pun tak berhak meminta tanggungjawab bila tak ada pilihan, bila tak ada kebebasan. Untuk Mahatma dan Krishna, dan untuk siapapun warganegara Indonesia, yang mereka butuhkan hanyalah klasifikasi informasi berdasarkan usia, bukan sensor dan indoktrinasi.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati,

Demikianlah pandangan saya, betapa buruknya sensor dan indoktrinasi. Keduanya menuju kepada masyarakat tertutup yang dipenuhi kekerasan, kebohongan, dan kebodohan. Ketika rezim totaliter Soeharto-Orde Baru digulingkan mahasiswa, kita sadar bahwa sensor dan indoktrinasi secara diametral bertentangan dengan demokrasi. Kita menghapuskan penataran kebodohan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), membubarkan institusi kekerasan penjaga idelogi tersebut Badan Koordinasi Stabilitas Nasional/ Daerah (Bakorstanas/da), menghentikan pemutaran filem propaganda Pengkhiatanan G30S/PKI yang ternyata dipenuhi kebohongan. Walaupun kita lupa mencabut larangan terhadap buku-buku Pramudya Ananta Toer, bahkan mencabut larangan eksepsi saya Manifesto Kedaulatan Rakyat, yang berisi pembelaan atas kebebasan dan demokrasi, di Pengadilan Mahasiswa Indonesia pada tahun 1990 di Bandung, bahkan tetap menyensor kebenaran dokumenter dari film Student Movement in Indonesia karya Tino Saroenggalo. Kebohongan dan kebodohan tampaknya ingin terus diabadikan oleh Lembaga Sensor Film (LSF).
Kita hadir di sini bersama-sama melawan sensor dan indoktrinasi, dan bersama-sama pula membela kebebasan dan demokrasi yang berpuluh tahun kita perjuangkan. Termasuk membela hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Tanpa perjuangan kebebasan dan demokrasi yang dipenuhi kekerasan, penjara, penculikan, dan nyawa sahabat-sahabat yang hilang sampai hari ini seperti penyair Wiji Thukul (saya selalu berdoa tetap dapat bertemu sahabat saya ini suatu hari nanti), maka rezim totaliter Soeharto-Orde Baru tidak akan tumbang, tidak ada Pasal 28F UUD 1945, dan tentu saja tidak akan ada Mahkamah Konstitusi tempat kita berkumpul hari ini. 

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati,

Catatan akhir saya adalah, (1) bila ada kegagalan penegakan hukum di masyarakat; (2) bila ada kegagalan tokoh-tokoh agama membina moral umatnya; (3) bila ada lembaga semacam Komisi Penyiaran Indonesia dan sejenisnya yang tak memiliki atau tak mampu menegakkan wewenang; (4) bila ada kemiskinan dan kurangnya pendidikan pada mayoritas rakyat, sangatlah keliru dan menyesatkan bila menjadikan keempat realitas hukum, sosial, ekonomi, dan politik itu sebagai alasan untuk mencabut hak demokrasi dan hak konstitusional setiap warganegara untuk mendapatkan informasi (apapun) secara bebas. Tindakan dan upaya mencabut kebebasan memperoleh informasi sebagai hak demokratis dan konstitusional setiap warganegara adalah logika yang sesat dan menyesatkan. Hak tak dapat ditunda dengan alasan apapun, karena menjadi basis untuk emansipasi individual dan emansipasi sosial, basis untuk tumbuhnya demokrasi.
Marilah kita bersama-sama membangun masyarakat terbuka dan kritis, serta berjuang merawat kebebasan, agar lahir warganegara yang bertanggungjawab terhadap kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Mari kita membangun sebuah Republik baru untuk anak-anak kita, tentu juga untuk anak-anak saya Mahatma dan Krishna, sebuah Republik tanpa sensor dan indoktrinasi. Republik Konstitusional yang membela hak warganegaranya, membela kebebasan dan demokrasi.

Terimakasih.

Jakarta, 27 Januari 2008

Image

Belajar dari “Intelektual Orde Baru”

Oleh M Fadjroel Rachman

Judul Buku: Revolusi Dari Luar (Demokratisasi di Indonesia)
Penulis: R. William Liddle
Penerbit: Penerbit Nalar dan Freedom Institute
Tahun: Cetakan Pertama, Agustus 2005
Halaman: xxii+258

“Intelektual Orde Baru!” Itulah kesimpulan saya ketika membaca artikel R. William Liddle,Merekayasa Demokrasi di Indonesia, yang dimuat Kompas pada 6-7 Februari 1990 (hlm.17). Saya membaca artikel itu di dalam penjara Badan Koordinasi Strategis Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Barat, di Jl. Sumatera 37 Bandung, penjelmaan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Lembaga ekstra konstitusional ini menjaga stabilitas politik Orde Baru, bertanggungjawab langsung kepada Jenderal Besar (purn.) Soeharto.

Ber-13 kami di penjara, disiksa, diinterogasi polisi, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen), dan Bakorstanasda, juga dipecat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh Prof. Wiranto Arismunandar (rektor) dan Dr. Indra Djati Sidi (pembantu rektor III). Enam orang kemudian divonis 3 tahun penjara (1989-1992), berpindah-pindah ke 7 penjara, termasuk Nusakambangan. Puluhan aktifis ITB lainnya diskorsing 1-2 semester, dan sejumlah organisasi mahasiswa dilarang dan dibekukan. Semua ini berawal dari Gerakan 5 Agustus 1989 di ITB, yang menentang rezim fasis-militeristik Orde Baru dan kediktatoran Jenderal Besar (purn.) Soeharto.

Semua kejadian buruk itu membuat saya sukar untuk berjarak terhadap setiap pendapat yang “positif” terhadap Soeharto dan Orde Baru (Orba). Saya tentu meradang dan sinis membaca artikel R.William Liddle itu, guru besar di Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Columbia, AS. Walaupun sejumlah bukunya cukup mendapat perhatian di Indonesia sepertiEthnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case StudyCultural and Class Politics in New Order IndonesiaPartisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru; dan lainnya.

Simaklah “usulan kongkrit” Liddle (hlm.29), “…Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang mempersiapkan sebuah peraturan baru, yang akan menggantikan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, … dengan senat mahasiswa yang konon lebih mandiri dan berwibawa.Tindakan positif ini [huruf miring dari penulis], menurut pendapat saya, sebaiknya dibarengi dengan usaha untuk meyakinkan para pemimpin dan aktifis bahwa kampus bukanlah wahana untuk berpolitik praktis…yang diperlukan pada tahap sekarang bukan demonstrasi.”

Liddle juga menerima kebijakan konglomerasi (hlm.26), ”…dari segi efisiensi pembangunan ekonomi dan untuk menggalakkan ekspor nonmigas, pemerintah merasa perlu memberi prioritas utama kepada apa yang sekarang disebut konglomerat.” Liddle melanjutkan,”…tanpa meremehkan dan mengesampingkan kebijakan [konglomerasi] itu,saya hanya ingin menekankan pentingnya bagi pembangunan demokrasi kelak usaha untuk menciptakan puluhan juta wiraswasta, buruh terampil, dan tenaga professional yang tersebar di seluruh Nusantara.” Dalam artikel ini juga Liddle menilai (hlm.23), “…UUD 1945 sebagai kerangka pengambilan keputusan politik sudah kukuh.Kendati pemantapan Pancasila sebagai asas tunggal masih belum rampung, pendukungnya di organisasi Islam cukup banyak dan menempati kedudukan yang strategis.”

Tentu saya terheran-heran di dalam penjara, apa maunya Liddle dengan “politik praktis” yang merasionalisasi kebijakan Soeharto-Orba ini, sementara “politik praktis” mahasiswa dikecamnya. Pengekangan, pemecatan, dan penangkapan aktifis kampus adalah praktik umum politik Soeharto-Orba, selain aktifis politik lainnya. UUD 1945 dan konglomerasi menjadi basis legitimasi fasisme-militeristik Orde Baru, setiap penentangnya dicap anti UUD 1945 dan anti pembangunan. Bahkan, kurang dari 4 bulan menjelang tergulingnya Soeharto-Orba, Liddle diKompas (6 Januari 1998) dalam artikel Revolusi dari Luar masih keras kepala meyakini bahwa, “Di Indonesia yang jelas diinginkan oleh para investor dan mungkin oleh sebagian besar masyarakat bukanlah demokratisasi, melainkan kelanjutan stabilitas politik Orde Baru.”

Bila kita susuri artikel terakhir sebelum jatuhnya Soeharto dan Orba ini, tak terlihat adanya gambaran realitas politik yang menunjukkan kemungkinan berakhirnya Soeharto-Orba. Apakah Liddle tak melihat kemungkinan tersebut? Bahkan Liddle masih “memuji-muji” Orba dan meremehkan gelombang demokratisasi dari kampus-kampus sejak Januari-Februari 1997.

Realitas “ala” Liddle

Menggelikan memang, ketika Liddle memimpikan demokrasi di Indonesia, prasyarat demokrasi politik seperti hak hidup, hak berbicara atau berbeda pendapat, hak berorganisasi, hak berdemonstrasi dihabisi. Semua kekuatan kritis masyarakat sipil diberangus dan dikooptasi untuk mengendalikan seluruh aktifitas masyarakat di bawah negara korporatis Orba. Liddle tidak melihat bahwa gerakan mahasiswa sebagai benteng terakhir mempertahankan kritisisme dan memelihara sesedikit mungkin prasyarat demokrasi politik itu. Kritisisme dan gerakan politik nilai (values political movement) mahasiswa merupakan jantung terakhir demokrasi, itulah yang ditakuti gerakan politik kekuasaan (power political movement) dari negara korporatis Orba.

Demonstrasi yang dikecam Liddle itu hanya seperseribu dari aktifitas gerakan politik nilai mahasiswa untuk memelihara dan mengembangkan kritisisme. Menyedihkan memang bila ilmuwan politik sekaliber Liddle menyamakan gerakan politik nilai mahasiswa dengan demonstrasi, lalu merasionalisasi praktik politik negara Orba untuk membungkam kritisisme yang berkembang di kampus-kampus.

Begitu pula dengan konglomerasi, kebijakan pembangunan inilah sumber malapetaka krisis ekonomi yang berujung dengan tergulingnya Soeharto-Orba pada Mei 1998. Kebijakan ini dilindungi dengan slogan trickle down effect, membenarkan kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Padahal yang terjadi trickle up effect, merampas hak sosial, hak ekonomi, hak budaya masyarakat. Karena itu tentu kontradiktif bila Liddle mengharapkan tumbuhnya puluhan juta wiraswasta, mikro, kecil, dan menengah yang bakal menjadi basis pengembangan kelas menengah sembari mendukung konglomerasi, oligarki modal nasional. Tentu pembaca yang lebih kritis lagi tidak akan menemukan artikel Liddle tentang kejahatan Hak Asasi Manusia berat yang terjadi sepanjang Soeharto-Orba berkuasa. Sebut saja peristiwa 1965, Tanjung Priok, Kedung Ombo, Penembakan Misterius, Talang Sari, Tragedi 27 Juli, Penjajahan Timor Timor, Daerah Operasi Militer Aceh, dan lainnya.

Kehatian-hatian ataukah perhitungan politik praktis yang melatarbelakangi semua artikelnya pada periode Orba ini, sukar diputuskan. Walaupun Liddle sendiri dengan gagah menyatakan,”…[setiap] analisis saya membicarakan kenyataan belaka dan tidak bermaksud mematikan harapan orang untuk sebuah masa depan yang lebih demokratis.” Liddle menegaskan lebih jauh lagi (hlm.57),”…Malah, saya percaya bahwa telaah yang realistis tentang keadaan politik masa kini merupakan suatu keharusan atau sine qua non buat pengertian kita mengenai kemungkinan-kemungkinan masa depan. Tanpa batu loncatan yang kukuh (yang buat saya dasarnya haruslah kebenaran), kita pasti tidak bisa meloncat jauh.”

Kembali pada kritik sebelumnya, segera kita membuat jarak dan bertanya, mana realitas atau kenyataan belaka “pada umumnya”? Lalu mana realitas atau kenyataan belaka “ala” Liddle?

Kelas Menengah dan Demokrasi

Klaim Liddle bahwa setiap analisisnya merupakan kenyataan dan telaah yang realistis tentu sangat mengganggu karena banyak pihak bisa menunjukkan kenyataan sebaliknya. Tetapi kita dapat belajar dari “kekeraskepalaan” Liddle terhadap “kenyataan belaka” yang diperolehnya.

Liddle seorang guru yang baik dan jujur, sederhana merumuskan pikirannya, dan memberikan inspirasi berharga bila dia tidak langsung menilai atau mengomentari fakta keras sehingga terjerembab memberikan “rasionalisasi” praktik fasis-militeristik Soeharto-Orba. Akan tetapi bila Liddle menggambarkan kenyataan umum, mengajukan pertanyaan kritis, maka kritisisme dan rasa ingin tahu kita terpancing untuk menelaah lebih jauh. Bacalah artikelnya Demokratisasi dan Kelas Menengah, adalah wacana yang hidup di masa Orba, juga pada pasca-Orbasekarang. Kata Liddle, “pemerintahan demokratis tanpa dukungan kelas menengah hampir-hampir tidak ada.” Bukankah kita masih berputar membuat anti-tesis atau sistesis dari tesis umum modernisasi ini?

Liddle menegaskan keyakinannya (hlm.10), “demokrasi parlementer sulit berjalan dengan baik tanpa didahului revolusi industri yang menciptakan kelas pengusaha swasta dan profesional yang cukup besar dan mandiri. Kelas ini nyaris merupakan satu-satunya golongan dalam masyarakat yang bisa diandalkan menjadi tulang punggung sistem perwakilan modern yang cukup kuat, sadar, dan berkepentingan untuk menuntut pemerintahan yang responsive danresponsible, mau mendengarkan dan bertanggungjawab.” Demikian pula artikel Mengenang Soedjatmoko, kita segera disergap pertanyaan abadi tentang modernisasi dan tradisi, yang melengkapi pertanyaan dan deskripsi sosial pada artikel Peristiwa Bersejarah di Imogiri.

Artikelnya Tiga Tantangan Politik Masa Depan ditulis pada 12 Juni 1995, juga memberikan gambar menarik yang bisa kita uji dalam realitas politik pasca-Orba tentang tiga kekuatan masyarakat yang sedang muncul akibat proses perubahan dari kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya Orba, dan faktor eksternal lainnya seperti perpindahan modal, pasang-surutnya ide besar, dan teknologi. Kata Liddle, pertama, sudah muncul Islam dengan segala variasinya, selain modernis inklusif seperti Nurcholis Madjid (alm.) juga ada modernis eksklusif melalui usroh, harakah, dan tarbiah. Kita mudah melacaknya pada kebangkitan Partai Keadilan Sejahtera, atau Hizbut Thahir Indonesia, dan lainnya. Kedua, terjadi proses borjuasi akibat pertumbuhan ekonomi Orba yang merombak struktur sosial masyarakat Indonesia. Inikah sumber daya politik yang menggulingkan Soeharto-Orba, dan demokrasi kita berikutnya?Ketiga, bangkitnya aspirasi kedaerahan dalam bentuk baru. Ketiga tantangan ini menurut Liddle mendorong proses pengelompokan politik baru yang akan menuntut banyak dari pemerintah di masa mendatang. Dibutuhkan penelitian sangat serius untuk menguji ketiga tesis ini.

Dua Periode, Dua Sikap Berbeda

Tentu ada pembaca yang bertanya, apakah Liddle pernah mengeluarkan kritik tegas terhadap Orba? Kita bagi saja ada dua periode artikel Liddle dalam buku ini: Periode Orba dan Periode Pasca-Orba. Pada artikel periode Orba, Liddle tidak pernah mengutarakan kritik tegas terhadap Soeharto-Orba, “hanya” mengiyakan kenyataan itu saja. Mengutip kata-kata Liddle sendiri dalam artikel favorit saya Dua Wajah Individualisme, pada periode Orba, Liddle menjadikan sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang seharusnya. What “is’ has become what “ought to be”(hlm.65). Akibat langsungnya, misalnya Liddle kehilangan kepekaan “dengan telaah realitas atau kenyataan belakanya” terhadap tanda-tanda berakhirnya Soeharto-Orba. Termasuk peremehannya terhadap gerakan mahasiswa dan gerakan sosial yang mengakhiri Soeharto-Orba pada Mei 1998.

Pada periode pasca-Orba, Liddle membuka artikelnya Modal Politik (Kompas,12 Oktober 1998) dengan gempuran yang sangat keras dan tegas terhadap Soeharto-Orba, padahal para musuh Orba, seperti saya dan kawan-kawan, sudah tak berselera lagi memakai kata-kata sekeras itu. Tulis Liddle (hlm.87), “Sekitar 30 tahun lalu sisa-sisa pemerintah demokratis di Indonesia dimusnahkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan perwira ABRI pendukung Soeharto.”

Lalu dalam wawancara dengan Salomo Simanungkalit (Kompas, 21 Februari 2001) Liddle menegaskan (hlm.187), “Kalau UUD 1945 betul-betul dilaksanakan sebagai undang-undang dasar yang demokratis – maksud saya, tidak diselewengkan oleh diktator seperti Soeharto.” Liddle menyebut Soeharto sebagai diktator! Ini adalah slogan gerakan mahasiswa ketika menentang Soeharto-Orba. Saya juga tercengang, Liddle menganggap UUD 1945 versi asli sebelum amandemen sebagai UUD demokratis, hanya Soeharto yang menyelewengkannya sebagai diktator? Tetapi, seandainya Liddle menulis kalimat tersebut ketika saya dan kawan-kawan dipenjarakan Soeharto-Orba dan disiksa Bakorstanasda, Bakin, dan Polisi, tentu tak akan keluar kata-kata, “Intelektual Orde Baru!”

Artikel periode pasca-Orba kebanyakan adalah upaya Liddle menggambarkan keadaan politik sebagai pengamat “netral”. Tetapi kecamannya terhadap Soeharto-Orba terlihat sangat keras dan langsung. Bahkan alasan penolakan gerakan mahasiswa terhadap Soeharto-Orba, selain sebutan Liddle bahwa Soeharto itu diktator, dirumuskan dengan baik pada artikel periode pasca-Orba Warisan Buruk Orde Baru (hlm.92), “sistem politik Orde Baru dibangun atas dasar otoriterisme. Lembaga-lembaga legislatif, partai, pemilu, ormas, pers, dan hampir semua organisasi yang berpotensi mengancam kedudukan pemerintah dikuasai dan dikekang oleh Presiden Soeharto dan bawahan-bawahannya.”

Kita tidak tahu kenapa kesadaran di atas demikian terlambat datangnya pada Liddle. Bahkan bila gerakan politik nilai mahasiswa mengikuti saran Liddle, maka bukan hanya Soeharto-Orba terus berkuasa hingga hari ini, tetapi juga kita tak akan menemukan artikel Liddle periode pasca-Orba. Lalu di manakah posisi Liddle sekarang? Murid-muridnya – umumnya bukanlah penentang Soeharto-Orba – sebagian besar menjadi “peleton intelektual” Jenderal (purn.) Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) presiden RI terpilih pada pemilu 2004, baik di dalam maupun di luar struktur. Kita belum bisa menilainya sekarang, karena artikel Liddle tentang SBY hanya sekitar 3 buah dalam buku ini, walaupun sudah cukup untuk memancing kontroversi baru bagi Liddle. Tetapi sekarang Liddle tidak sendiri, kita juga bisa mengamati dan belajar dari murid-muridnya yang menjadi “peleton intelektual” SBY. Apakah sekarang ini periode Liddle+murid-muridnya? Waktu yang akan menjawabnya.

Penutup

Sayangnya, pengantar buku yang ditulis Hamid Basyaib sangat seadanya, padahal untuk buku yang dikumpulkan dari artikel terpisah, sebuah pengantar berkualitas sangat menentukan sebagai penjahit “benang merah” pemikiran. Tentu kita berharap –dan sangat pantas berharap- sebuah pengantar yang berkualitas dan inspiratif seperti pengantar Ignas Kleden untuk kumpulan artikel Sudjatmoko dalam Etika Pembebasan (LP3ES, 1985) misalnya.

Liddle masih dan akan terus berkarya, kita juga akan terus belajar dari guru yang santun, jujur, dan kontroversial ini. Di hari mendatang, kita semua akan terus bergulat, bertempur, membongkar diri, menguji apa yang ia pikirkan (what he thinks), dan bagaimana ia memikirkannya (how he thinks). Guru yang baik, adalah guru yang siap dikecam, dimusuhi dan dilampaui orang-orang yang belajar –langsung dan tak langsung kepadanya. Prof. R.William Liddle adalah salah satunya!

M. Fadjroel RachmanKetua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]
KOMPAS, Sabtu 17 Sep 2005Image

Tuan Presiden, Tangkaplah Pembunuh Munir*

Tuan Presiden, para pembunuh Munir itu sekarang berkeliaran bebas di negeri ini. Sekarang mereka yakin, membunuh manusia itu sah bila hukum dapat dimanipulasi. Membunuh itu benar sepanjang fakta, kebenaran, hukum dapat direkayasa dan kekuasaan dominan melindunginya.
Membunuh Munir sebagai duri politik adalah awal kecongkak- an, lalu meracuni ruang publik dengan beragam versi kebenaran, kemudian mereka akan membunuh siapa saja, dengan alasan apa saja, di kemudian hari. 

Tuan Presiden, mereka tidak sendirian. Vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 Desember 2005, menyatakan, “Pollycarpus melakukan perbuatan pidana turut melakukan pembunuhan berencana… dilakukan secara berkawan atau berkomplot (conspiracy) yang berakibat hilangnya jiwa orang lain.” Namun, Pollycarpus, menurut Mahkamah Agung, 4 Oktober 2006, tidak terbukti membunuh. Artinya, komplotan pembunuh Munir berkeliaran bebas di ruang publik, mengintip dan memilih korban berikutnya. Siapa tahu saya atau Anda, Tuan Presiden. 

Republik ketakutan 

Tuan Presiden, republik ini sekarang menjadi republik ketakutan. Para pembunuh menertawakan para pencari keadilan, istri Munir dan anak-anaknya, orangtua dan keluarga Munir, sahabat dan simpatisannya di dalam dan luar negeri. Ketakutan berpikir bebas, berekspresi, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan inilah yang dimusuhi setiap rezim dan praktik totaliter. 

Melalui represi militer, ketakutan direkayasa secara vulgar, selama 32 tahun Soeharto-Orde Baru dengan ribuan korban terbunuh, dipenjara, dan dihilangkan sampai sekarang. Soeharto mendapat impunitas sempurna dan bahagia bersama keluarga di hari tua. Ketakutan terhadap komplotan pembunuh Munir yang berkeliaran adalah ketakutan subtil, ancamannya tak terlihat langsung, tetapi merampas kebebasan secara mutlak. Karena risikonya tak terhitung, para pembunuh Munir itu bisa berkeliaran atas nama NKRI, keamanan nasional, stabilitas politik, bahkan reformasi. 

Tuan Presiden, bila kami mengkritik negeri ini teramat keras, bukan berarti kami tidak mencintai negeri ini. Teramat bodohlah Pollycarpus atau para pembunuh Munir bila menganggap kami ingin memorakporandakan negeri ini sehingga pantas untuk dibunuh. Kami mencintai negeri ini, tetapi juga mencintai keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan. Tanpa nilai tersebut, negeri ini menjadi negeri barbar, bukan tempat manusia sebagai warga negara. Republik adalah tempat di mana warga negara bebas dilindungi hak paling dasarnya, hak untuk hidup! Republik adalah rumah bagi warga negara bebas dan hidup! 

“A test of our history” 

Tuan Presiden, Anda pernah berjanji akan menuntaskan kasus pembunuhan Munir sebagai ’a test of our history’, apakah sejarah kita sudah menghargai kesetaraan di depan hukum. Janji seorang presiden menjelma harapan bagi setiap warga negara karena presiden seorang pengambil keputusan dan memiliki wewenang dan perangkat kerja untuk mewujudkan janji. Presiden adalah eksekutor bagi janji-janjinya. Kata-kata yang tidak ditepati, tidak diperjuangkan menjadi kenyataan, bukanlah janji, tetapi ilusi! Tentu seorang presiden yang jujur bukanlah ilusionis. 

Tuan Presiden, ’a test of our history’ adalah sebuah falsifikasi, pengujian yang mahakeras untuk melumpuhkan hipotesis bahwa hukum hanya berpihak pada penguasa dan pengusaha. Sejarah antidemokrasi kita sudah berujung pada pembunuhan Munir. 

Janji tanpa bukti tak akan mampu menghentikan sejarah barbar ini. Tindakanlah alat membuktikan falsifikasi, bila gagal seperti sekarang, benarlah hipotesis lama, hukum berpihak pada penguasa, pengusaha, dan pembunuh Munir! 

Tuan Presiden, pada hari ini juga, dengan kewenangan yang demikian besar pada jabatan kepresidenan, mengulangi usulan penegak HAM juga Suciwati, istri almarhum Munir, Anda dapat membentuk tim independen kepresidenan dengan mandat menindaklanjuti putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat, termasuk temuan Tim Pencari Fakta Kasus Munir yang dahulu Anda bentuk. Nama-nama seperti Ramelgia Anwar, Oedi Irianto, Yeti Susmiarti, bahkan Mayor Jenderal (purn.) Muchdi Purwopranjono (Deputi V Badan Intelijen Negara) dan Jenderal (purn.) Hendro Priyono (Direktur Badan Intelijen Negara) tercantum di sana. 

Tuan Presiden, percayalah, kekecewaan dan ketakutan bertubi warga negara akan menggerogoti kepercayaan pada Anda, kepresidenan, dan lembaga negara lainnya. Keraguan, ketidaktegasan, dan ketidakpedulian hingga menyerahkan kasus Munir lewat mekanisme biasa membuat lega para pembunuh Munir, dan mereka bersukaria setelah Polly- carpus dibebaskan. Membunuh itu mudah dan menyenangkan! 

Tuan Presiden, memimpin berarti berjanji dan menepatinya. Memimpin berarti menciptakan harapan dan menjadikannya realitas sosial, tak ragu walaupun mengorbankan kekuasaan. Ragu-ragu menepati janji atau menganggap janji sebagai kata-kata pemanis belaka menjadi kuburan bagi kepemimpinan. 

Tuan Presiden, sejarah Munir sekarang ada di tangan Anda, apakah akan menjadi sejarah keadilan atau sejarah ketidakadilan, tergantung pada kualitas kepemimpinan dan keberanian Anda. **

* ImageKompas, 6 Oktober 2006 – Oleh: M Fadjroel Rachman 
Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]

 

 

Doktrin Fiduciary Duty versus Business Judgement Rule

Prinsip utama doktrin fiduciary duty  diberlakukan dalam UUPT No.40/2007 Pasal 97 ayat (2), “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.” Lalu Pasal 97 ayat (3) merupakan petunjuk  duty of loyalty, “ Setiap  anggota Direksi  bertanggung jawab  penuh  secara  pribadi  atas kerugian Perseroan apabila  yang bersangkutan  bersalah  atau  lalai  menjalankan tugasnya  sesuai  dengan  ketentuan  sebagaimana  dimaksud pada ayat (2).” Dilanjutkan Pasal 97 ayat (4) merupakan petunjuk duty of care tanggungjawab menjadi tanggung renteng, “Dalarn hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih,  tanggung jawab  sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) berlaku  secara tanggung  renteng  bagi  setiap  anggota Direksi .”  Berlakunya prinsip fiduciary duty ini diperkuat dalam Pasal 99 ayat (1) butir a dan b yang berbunyi, “ Anggota  Direksi  tidak  berwenang  mewakili  Perseroan apabila: a.  terjadi perkara di pengadilan antara  Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau  b.  anggota  Direksi  yang  bersangkutan  mempunyai  benturan kepentingan dengan Perseroan.”

Kesimpulan Freddy Harris dan Teddy Anggoro bahwa pihak utama yang dibebankan kewajiban fiduciary duty adalah direksi.[1] Mengutip Gower, menurut Harris dan Teddy dalam common law principles, fiduciary duty direksi terdiri atas dua jenis duty yaitu: 1. Duty of loyalty,”the decision makers within the company should act in the interest of the company, and not in their own interest.”;2. Duty of a good faith, “…that directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company.” Kesimpulan Harris dan Teddy bahwa UUPT No.40/2007 tidak mengatur secara khusus mengenai fiduciary duty tetapi mengatur prinsip-prinsip umumnya. Nah dari prinsip umum fiduciary duty itu maka: 1. Direksi dalam mengurus perseroan harus memperhatikan kepentingan perseroan di atas kepentingan lainnya (to act bona fide in the interest of the company); 2. Pengurus Perseroan harus bertindak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan (intra vires) serta memperhatikan batasan dan larangan yang ditentuka UU dan anggaran dasar sesuai Pasal 92 ayat (1), “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.”; 3. Dalam melaksanakan kepengurusan, pribadi-pribadi anggota direksi harus memiliki itikad baik (in good faith) dan tanggung jawab (in full sense of responsibility); 4. Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan rajin (diligently), penuh kehati-hatian (carefully), dan pintar serta terampil (skillfully). Kesimpulannya, direksi dalam mengurus Perseroan di Indonesia dengan tegas dibebani kewajiban untuk melaksanakan fiduciary duty.

Sedangkan business judgement law bertujuan melindungi direksi atas keputusan bisnis yang merupakan transaksi korporasi, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik, atau apabila dijalankan sesuai prinsip-prinsip fiduciary duty. Mengutip Robert Charles Clark yang memandang business judgement law sebagai aturan sederhana atas pertimbangan bisnis direksi yang tidak akan dibantah oleh pengadilan dan pemegang saham, direksi tak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas konsekuensi yang timbul dari putusan bisnisnya.[2] Nah business judgement law sangat jelas diakui dalam UUPT No.40/2007 khususnya dalam Pasal 97 ayat (5) yang berbunyi, “, “Anggota Direksi tidak  dapat  dipertanggungjawabkan  atas kerugian sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3) apabila dapat membuktikan: a.  kerugian  tersebut  bukan  karena  kesalahan  atau kelalaiannya; b,  telah  melakukan  pengurusan  dengan  itikad baik  dan kehati-hatian  untuk   kepentingan  dan  sesuai  dengan maksud dan  tujuan Perseroan; c.  tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun  tidak langsung  a t a s   tindakan  pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d.  telah  mengambil  tindakan  untuk  mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”

Perhatikan bahwa Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 99 ayat (1)  menekankan tugas fiduciary duty dari direksi, tetapi sebenarnya pasal-pasal tersebut juga  menegaskan berlakunya doktrin business judgement law. Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT No.40/2007 itu khususnya memberlakukan doktrin business judgement law dan dari ketentuannya dapat dsimpulkan bahwa tindakan direksi terhadap perseroan haruslah dilakukan dengan memenuhi ketiga syarat yuridis yaitu: a. Itikad baik (good faith); b. Penuh tanggungjawan dan; c. Untuk kepentingan perseroan. Manakala salah satu dari unsur yuridis itu tidak terpenuhi, direksi tersebut dianggap bersalah (dalam arti kesengajaan) atau setidak-tidaknya dalam keadaan lalai (negligence) dalam menjalankan tugasnya itu sehingga dia harus bertanggungjawab secara pribadi. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan yuridis bahwa miskalkulasi, kesalahan yang jujur (honest mistake), atau kesalahan dalam mengambil keputusan (mere error in judgement) selama tidak melanggar salah satu atau lebih dari tiga unsur tersebut di atas, belumlah dapat dibebankan kewajiban hukum kepada direksi secara pribadi,meskipun mungkin saja pihak perseroan atau pemegang saham telah dirugikan secara materil atau non-materil. Karena itu dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu, UUPT No.40/2007 memberlakukan doktrin putusan bisnis (business judgement law).[3] Hemat penulis doktrin business judgement law merupakan reaksi atas pembatasan diskresi yang timbul karena adanya kewajiban-kewajiban fiduciary bagi direksi dalam mengurus korporasi atau perseroan.

Berlakunya doktrin fiduciary duty terkait dengan doktrin business judgement law juga ditegaskan dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) berikut penjelasannya. Adapun Pasal 92 ayat (1) menekankan keharusan direksi menjalankan Perseroan sesuai dengan kepentingan, maksud dan tujuan Perseroan tentu dengan itikad baik dan tanggungjawab sesuai prinsip fiduciary duty dan business judgement law, yang berbunyi “Direksi  menjalankan  pengurusan  Perseroan  untuk kepentingan  Perseroan  dan sesuai  dengan maksud  dan tujuan Perseroan.” Sedangkan Pasal 92 ayat (2) dan penjelasannya menyatakan bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan kebijakan yang, antara lain, didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam usaha sejenis. Bunyi Pasal  92 ayat (2) sebagai berikut, “Direksi berwenang menjalankan  pengurusan sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1) sesuai  dengan  kebijakan  yang dipandang  tepat,  dalam  batas  yang  ditentukan  dalam Undang-Undang ini dan/atau  anggaran dasar.” Adapun penjelasan Pasal 92 ayat (2) ini berbunyi, “Yang dimaksud dengan “kebijakan yang dipandang tepat ” adalah kebijakan  yang, antara  lain  didasarkan  pada  keahlian,  peluang  yang tersedia, dan  kelaziman dalam dunia usaha  yang sejenis.”

Nah pasal-pasal di atas ini tegas sekali menganut doktrin business judgement law  serta memiliki prinsip fiduciary duty bila dikatakan direksi menjalankan perseroan didasarkan  pada  keahlian berarti direksi menjalankan duty of skill dimana direksi tidak diharapkan  tingkat keahlian kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara wajar dari orang yang sama pengetahuannya dan sama pengalaman dengannya atau dalam bahasa hukum popular, “degree of skill that may reasonably be expected from a person of his knowledge and experience.”[4] Adapun kebijakan bisnis dalam business judgement law dalam penjelasan Pasal 92 ayat (2) itu berupa “kebijakan sesuai kelaziman dalam dunia usaha  yang sejenis” ini sesuai dengan prinsip duty to exercise care dalam fiduciary duty yang menuntut direksi untuk melaksanakan tugasnya dengan rajin (diligently), penuh kehati-hatian (carefully), dan pintar serta terampil (skillfully), hal ini biasanya disebut dengan standard of conduct.[5]


[1] Harris, ibid, hlm., 54. Di Indonesia, doktrin fiduciary duty ini juga diterapkan kepada dewan komisaris, karena Dewan Komisaris adalah organ perseroan. Konsekuensi ini muncul karena penerapan double/two tier board model.

[2] Harris, op cit., hlm., 59.

[3] Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Cet,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 193.

[3] Gifis, Steven H, 1984,

[4] Anggoro, Teddy, 2010, Bahan Kuliah “Teori Perusahaan”, FHUI.

[5] Harris, op cit, hlm.56.

Image

Giorgio Agamben, Hukum dan Theory of Exception

Mengikuti gagasan Giorgio Agamben, Baruch Spinoza Chair and a professor of philosophy at the European Graduate School in Saas-Fee, Switzerland, dalam bukunya Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1998) yang ditulis dua bulan setelah serangan 9/11 disaat pemerintahan George Bush Jr. memaklumatkan state of emergency. Dalam suasana politik di Amerika Serikat dan dunia yang dipenuhi teriakan perang dan anti terorisme muncullah ide bernas dari Agamben yang mengkaji subjek state of exception atau kedaruratan sebagai  “the temporary suspension of the juridical order… powerful strategy that has the potential to transform democracies into totalitarian states.”. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life  ini adalah buku pertama yang menteoritisir state of the exception atau kedaruratan dalam konteks filsafat dan sejarah. Dalam buku ini Agamben memakai dan memperkaya gagasan Carl Schmitt, Derrida, Walter Benjamin, and Hannah Arendt. Kedaruratan (exception) berasal dari bahasa Latin ex-capere yang berarti “dibawa keluar” dan bukan sekadar dikecualikan, keputusan dalam kedaruratan tidak mengecualikan diri dari hukum, melainkan membawa dirinya sekaligus kekuatan hukum keluar dari hukum sehingga  hukum kehilangan kekuatannya.

Kesimpulan Donny G. Adian[1] bahwa state of exception atau kedaruratan tidak mengenal hukum apapun, melainkan membuat hukumnya sendiri. Kedaruratan membuat hukumnya sendiri dalam kondisi ketiadaan hukum, atau tepatnya menihilkan hukum yang ada yang sedang berlaku. Hukum berlaku pada kedaruratan sebagai yang tidak berlaku lagi (suspended). Proses asal-usul hukum dalam kedaruratan adalah kedaruratan melumpuhkan kekuatan hukum dari hukum yang berlaku, hukum yang ada, dan memindahkannya ke tangan sovereign untuk membuat hukum baru.  Sovereignity ini seperti yang dipahami oleh Carl Schmitt tidak didasarkan pada hukum melainkan pada absennya hukum, jadi bagi Carl Schmitt kedaruratan tidak terlepas dari hukum melainkan memiliki relasi khusus dengan hukum. Sedangkan kedaruratan atau state of exception itu sendiri bukan sekadar fakta atau peristiwa melainkan indikator sovereignity.  Dengan kata lain, Thus, what Foucault describes as a retreat of disciplinary institutions, for Agamben also coincides with the permanent state of exception becoming the realm of application of political power. By state of exception Agamben understands the suspension of the rule that provides it with its legitimacy.”

Keputusan George Bush Jr., membuat Patriot Act untuk mengantisipasi bahkan memburu apa yang disebutnya sebagai teroris dan terorisme yang mengancam Amerika Serikat dari dalam negeri dan luar negeri (terbukti kemudian AS menduduki Afghanistan dan Irak, dan meningkatkan pengawasan di dalam negeri dari bandara, ruang publik, hingga perpustakaan universitas, bahkan pertunjukkan teater anti perang Irak, juga terasa komikal petugas bandara menangkap seseorang yang memakai kaos bertuliskan We Will Not Be Silent tetapi dalam huruf Arab).[2] Patriot Act melucuti proteksi legal tersangka teroris dan membiarkannya dalam ketidakmenentuan. Tersangka teroris dicabut status legalnya namun dengan demikian justru masuk ke dalam legal order yaitu  Patriot Act. Inilah yang dicontohkan Agamben yang memungkinkan penegak hukum bertindak di luar Konvensi Jenewa dan di luar Konstitusi Amerika sendiri.  Jadi kedaruratan bukan khaos (kekacauan) sebagai lawan kosmos (keteraturan) atau anarki, ia  memiliki keteraturan meskipun tidak termasuk legal order. Simpul Donny, US sovereign tetap berada di dalam legal order meskipun mendevalidasi legal order.

Tentu hukum yang lahir dalam state of exception atau kedaruratan berkarakter paradoks[3], karena kedaruratan itu di dalam sekaligus di luar hukum, dia di dalam karena memiliki kekuatan mengikat (vis obligandi) namun kekuatan itu dipakai juga untuk melumpuhkan vis obligandi hukum itu sendiri (di luar hukum).

Kajian sejarah yang dilakukan Agamben menemukan bahwa arketip kedaruratan atau state of exception juga ditemukan pada hukum Romawi, khususnya pada apa yang disebut iustitium (pembekuan ius atau order). Ketika senat merasakan situasi yang mengancam kelangsungan Republik, mereka segera mengumumkan senatus consultum ultimum yang berujung pada dekrit yang mengumumkan tumultus (keadaan darurat karena gangguan internal atau pemberontakan). Ketika pasukan Anthony (pemberontak) bergerak menuju ibukota maka Cicero (anggota senat) mengatakan, “kita harus mengumumkan tumultus, memproklamirkan iustitium dan bersiap maju perang”, berdasarkan iustitium yang kemudian dikeluarkan, hukum yang melarang membunuh warganegara Romawi tanpa persetujuan publik dibekukan. Dalam kondisi yang dianggap “darurat” itulah bekerja kedaruratan atau state of exception. Kondisi serupa yang dirumuskan oleh George W. Bush Jr., di masa kontemporer sekarang ini.

Donny Gahral Adian mengutip Homo Sacer dan menjelaskan bahwa Iustitium membuat ruang hampa legal yang mengubah watak tindakan dari fakta hukum menjadi fakta spasio-temporal belaka, pembunuhan bukan lagi fakta hukum melainkan fakta bahwa si A menancapkan belati ke perut B pada ham 14.00 di ibukota kekaisaran Romawi. Iustitium menerabas perbedaan antara legislasi, eksekusi dan transgresi, tindakan yang diambil pada periode iustitium bukan eksekusi hukum ataupun transgresi hukum, sebab baik eksekusi maupun transgresi mengandaikan hukum yang tak terbekukan, apa yang dilakukan adalah de-eksekusi hukum, membuat hukum lumpuh secara operasional alias kehilangan kekuatan hukum. Dia yang  bertindak pada masa iustitium bukan diktator, sebab diktator adalah pejabat yang mendapat kekuasaan dari hukum yang dipilih rakyat. Tindakan semasa iustitium tidak berwatak diktatorial melainkan berupa ruang hampa hukum.Iustitium tidak menciptakan pejabat berkuasa (seperti supersemar) melainkan zona anomi yang mana semua determinasi legal berhenti bekerja.

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan, bahwa Agamben menjelaskan asal-usul hukum dari kedaruratan atau state of exception dalam kerangka paradox of sovereignty[4] yang gagasannya diangkat dari Carl Schmitt. Santi Romano seorang hakim asal Italia menolak pendasaran hukum pada kedaruratan atau  state of exception sebab kedaruratan adalah sumber hukum itu sendiri. Kedaruratan tidak mengenal hukum apa pun, melainkan membuat hukumnya sendiri. Hukum tidak dipakai untuk menindak fakta-fakta transgresi melainkan justru lahir dari fakta-fakta transgresi yang tak bersangsi (interogasi tersangka teroris dengan metode waterboarding). Kedaruratan tidak perlu dicarikan pendasaran hukum karena sedari awal sudah berwatak hukum (memiliki kekuatan hukum). Kedaruratan menyiratkan hukum sebagai kekerasan (gewalt) yang memaksakan ketertiban (order) pada kekacauan (chaos). Dalam paradox of sovereign, sovereign (dalam kasus AS melalui Patriot Act) membekukan legal order (outside legal order) namun tetap memiliki kekuatan hukum untuk mencabutnya (inside legal order).

Berarti hukum yang lahir dalam situasi kedaruratan atau state of exception bekerja dalam proses di mana kedaruratan melumpuhkan kekuatan hukum dari hukum yang berlaku dan memindahkannya ke tangan sovereign untuk membuat hukum baru. Di titik inilah kita memahami Agamben bahwa kedaruratan atau state of exception,adalah strategi yang sangat cemerlang yang, “ has the potential to transform democracies into totalitarian states.”


[1] Adian, Donny Gahral, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, FHUI, 2011.

[2] Goodman, Amy dan David G., Standing Up to The Madness: Ordinary Heroes in Extraordinary Times, 2008

[3] His reference to Schmitt is functional to explaining the paradox of sovereignty that lies in the notion of Ausnahme: ‘Sovereign is whoever decides on the state of exception’

[4] Agamben then cites Benjamin’s idea of a relation of constituent to constitutive power as that of a violence that brings about right to a violence that preserves it. In this sense, the constitution presupposes itself as constituent power (see Sieyés and Negri), and in this form it expressed the paradox of sovereignty.Image