Home » Posts tagged 'taufik basari'

Tag Archives: taufik basari

Gerakan Mahasiswa Korektif: Ketika Uji Materi UU BHP Dimenangkan MK

Gerakan Mahasiswa: Bertarung demi Demokrasi

(Ketika UU Badan Hukum Pendidikan Dimenangkan Mahkamah Konstitusi)

Oleh: M. Fadjroel Rachman

Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Melawan kejahatan korupsi dan pelanggaran/kejahatan HAM, menolak kemiskinan dan ketimpangan sosial, itulah tema utama Gerakan Mahasiswa 2010 (GM 2010) yang membahana di langit demokrasi Indonesia. Pilihan isu strategis yang sangat tajam, karena langsung berdiri kokoh di atas lima pilar demokrasi yang memperjuangkan hak-hak dasar warganegara, setiap warganegara Indonesia tentu saja tanpa kecuali, yaitu  hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dipadukan dengan upaya pemberantasan korupsi, karena semakin dipahami bahwa musuh demokrasi adalah: pelanggaran/kejahatan HAM dan kejahatan korupsi.

Tak ada negara demokrasi yang tidak mengakui setidaknya kelima hak-hak dasar  demokratis tersebut. Secara internasional kelimanya termaktub dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), sedangkan untuk pemberantasan korupsi dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (2003). Kelima hak-hak dasar demokrasi itu sudah diratifikasi Indonesia pada 28 Oktober 2005, dan konvensi menentang korupsi pada tahun 2006. Berbekal prinsip-prinsip demokrasi internasional ini, mendukung dan menegakkan HAM serta melawan korupsi, maka gerakan mahasiswa Indonesia pada 2010 sekarang memiliki pilar kokoh untuk berjuang bagi kepentingan publik (public interest) di wilayah (1) pemikiran; (2) penciptaan opini, (3) advokasi; (4) lobby dan; (5) aksi massa (demonstrasi).

Korektif dan Konfrontatif

Setiap gerakan mahasiswa pasti berkaitan dengan kepentingan publik (public interest) yang dilandasi nilai-nilai utama (Values) : kemanusiaan, keadilan, kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, kerakyatan, solidaritas, baik untuk kalangan internal mahasiswa di level perguruan tinggi, kota/kabupaten/provinsinya, nasional maupun internasional. Secara khusus dapat dikatakan kepentingan publik paling utama dalam demokrasi di Indonesia sekarang adalah penegakan HAM seperti lima hak dasar di atas, selain kejahatan HAM pada kasus besar Trisakti, Semanggi I dan II dan Munir, juga pelanggaran Hak ekonomi, sosial dan budaya di Kasus Lumpur Lapindo (perusahaan Aburizal Bakrie), dan pemberantasan korupsi di semua level, bahkan di perguruan tinggi selain kasus megaskandal Bank Century,  Soeharto Inc,  Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bila dikaitkan dengan upaya penegakan HAM dan pemberantasan korupsi, maka gerakan mahasiswa dapat dikategorikan bersifat koreksi terhadap kebijakan pemerintah (daerah maupun pusat) atau gerakan korektif. Mayoritas aktivitas gerakan mahasiswa bersifat korektif terhadap kebijakan pemerintah, dan umumnya dilakukan dalam ramuan kontekstual dilevel pemikiran, penciptaan opini, advokasi, lobby, dan demonstrasi.

Identikkah gerakan mahasiswa dengan demonstrasi atau aksi massa? Tentu tidak, karena tidak setiap upaya untuk mengkoreksi kebijakan yang menguntungkan publik harus dilakukan dengan demonstrasi. Misalnya, kebijakan pemerintah dan juga DPR yang menghasilkan UU tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak bisa dihadapi hanya demonstrasi, tanpa persiapan pengorganisasian pemikiran, opini, advokasi, lobby yang tangguh agar Mahkamah Konstitusi menganulir pasal-pasal yang merugikan hak sosial publik untuk mendapatkan akses pendidikan. Akan tetapi aksi massa tetap diperlukan agar publik dan media massa menyadari adanya opini berbeda dari pemerintah dan DPR soal kebijakan pendidikan nasional. Karena itu aksi massa atau demonstrasi menjadi sarana penciptaan opini publik seperti, “Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), berkumpul di depan gedung Mahkamah Konstitusi  (MK). Mereka berunjuk rasa terkait rencana memohonkan uji materi (judicial review) Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) ke MK.”

Selain gerakan korektif, gerakan mahasiswa juga berpotensi dan dapat bertransformasi menjadi gerakan konfrontatif terhadap pemerintah yang berkuasa. Contoh terbaik adalah gerakan mahasiswa 1966 melawan rezim Soekarno dan 1998 melawan rezim Soeharto-Orde Baru. Secara sederhana, dapat dikatakan apabila gerakan korektif mahasiswa yang mengkrtik dan mengajukan alternatif terhadap kebijakan tidak pernah direspon dengan baik oleh pemerintah, atau bahkan dihadapi dengan represif dengan kekerasan di jalanan, penangkapan, pemenjaraan, penculikan, maupun penembakan dan pembunuhan, maka secara perlahan gerakan mahasiswa korektif berubah menjadi gerakan mahasiswa konfrontatif. Kebebalan pemerintah yang menganggap kritik masyarakat yang bersifat korektif adalah penolakan total terhadap rezim yang berkuasa ataupun sosok presiden yang berkuasa misalnya, membuat gerakan mahasiswa secara perlahan mentransformasi diri sebagai antitesa kekuasaan sehingga pilihan konfrontasi tak terelakkan. Transformasi melawan rezim Soeharto berlangsung sejak gerakan konfrontatif 1974 (Malari), 1978 yang diakhiri dengan pencabutan hak sipil dan politik mahasiswa Indonesia melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) dan membubarkan Dewan Mahasiswa. Gerakan konfrontatif  tersebut berujung pada penggulingan Presiden Soeharto, pada 1966 gerakan konfrontatif itu menggulingkan Presiden Soekarno.

Kekerasan, Siapa Memulai?

Kekerasan spontan di jalanan dalam demonstrasi mahasiswa atau rakyat selalu berakar pada kekerasan struktural yang mereka alami sehari-hari dalam kehidupan sosial. Contohnya, kebijakan pemerintah yang mencabut atau mendiskriminasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk kebijakan koruptif dalam kasus megaskandal Century, BLBI, Soeharto Inc, KLBI selain kejahatan korporatif yang “dilindungi” pemerintah yang mencabut hak ekonomi, sosial dan budaya korban lumpur Lapindo. Kekerasan struktural yang mencabut hak-hak dasar warganegara yang berwujud kebijakan pemerintah ini berujung pada kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Contoh umum dari World Bank, kemiskinan 52% populasi dengan pendapatan kurang dari US$2 per hari, sementara Presiden SBY kekayaannya hampir Rp.8 miliar, sedangkan Wapres Boediono lebih dari Rp.28 miliar, apalagi dibandingkan konglomerat kelas dunia (Forbes 2010) seperti Michael Hartono (Djarum) senilai Rp.35 triliun, atau Chairul Tanjung (Para Grup) senilai Rp.10 triliun. Akar dari kekerasan di jalanan adalah kekerasan struktural yang tidak kasat mata. Kekerasan struktural yang ditopang dengan kebijakan pemerintah tidak akan bisa dihadapi dengan aksi kekerasan semata di jalanan, kecuali dengan perubahan struktural yang merombak akar kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Jadi kekerasan aksi di jalanan akhir-akhir ini bertimbal balik secara langsung dengan kekerasan struktural dan tindakan represif yang dilakukan aparat pemerintah, dengan halus melalui ancaman, teror, manipulasi informasi (misalnya tuduhan melakukan makar pada gerakan antikorupsi 9 Desember 2009) ataupun pemukulan dan penangkapan. Semua pihak, dari pemerintah maupun demonstran berada dalam ruang kekerasan struktural dari sistem sosial kapitalistik yang kontradiktif.

Penutup

Akhirnya, kemana gerakan mahasiswa harus melangkah? Hemat penulis, Pertama, pilihan strategis untuk memperjuangkan dan menegakkan hak-hak dasar demokrasi: sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta pemberantasan korupsi adalah ciri gerakan mahasiswa 2010, merupakan pilihan tepat secara politis dan intelektual. Kedua, arah strategis pilihan penegakan HAM dan pemberantasan korupsi akan berujung pada perubahan struktural yang akan meminimalisir kekerasan struktural maupun kekerasan spontan di jalanan, baik oleh aparat maupun demonstran sendiri. Ketiga, gerakan mahasiswa selalu berjuang bagi kepentingan publik (public interest) dengan cara mengkonsolidasi secara kritis (1) pemikiran; (2) penciptaan opini, (3) advokasi; (4) lobby dan; (5) aksi massa. Keempat,  Gerakan mahasiswa, baik yang berbentuk korektif maupun konfrontatif dapat dikategorikan sebagai gerakan politik nilai (values political movement), bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) seperti partai politik. Bila gerakan mahasiswa adalah gerakan politik nilai (values political movement) yang bersandar pada kritisime  dan budaya kritis, maka demokrasi yang diperjuangkannya untuk mewujudkan emansipasi individual dan sosial, pada analisis akhir, adalah scientifico critical democracy, demokrasi kritis-ilmiah.

NB: Terimakasih untuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) – Masyarakat yang dipimpin Taufik Basari sebagai pengacara mahasiswa dan publik dalam uji materi UU BHP di Mahkamah Konstitusi

Fadjroel dan BEM UI di MK